Kimberly Ryder dan Tantangan Kepemilikan Aset bagi WNA di Indonesia: Cerai dari Edward Akbar, Ini Fakta yang Terungkap

Kimberly Ryder--
Kimberly Ryder dan Tantangan Kepemilikan Aset bagi WNA di Indonesia: Cerai dari Edward Akbar, Ini Fakta yang Terungkap
Setelah resmi mengakhiri bahtera rumah tangganya dengan Edward Akbar, nama aktris cantik Kimberly Ryder kembali menjadi sorotan publik. Namun kali ini, bukan hanya karena perceraiannya yang menjadi perbincangan hangat, melainkan karena tantangan hukum besar yang harus dihadapinya sebagai Warga Negara Asing (WNA) dalam kepemilikan aset di Indonesia.
Fakta yang terungkap menunjukkan bahwa Kimberly, yang memiliki darah keturunan Australia, secara hukum tidak diperbolehkan memiliki tanah atau properti atas nama pribadi di Indonesia. Hal ini menjadi salah satu akar masalah dalam pembagian harta gono-gini pasca perceraian, sekaligus membuka diskusi luas tentang perlindungan hukum bagi WNA yang menikah dengan Warga Negara Indonesia (WNI).
Aturan Hukum yang Jadi Penghalang: WNA Tak Boleh Miliki Tanah Secara Langsung
Indonesia memiliki aturan tegas dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 yang melarang warga negara asing memiliki hak milik atas tanah. Meski WNA diperbolehkan menyewa atau memegang hak guna bangunan (HGB) atau hak pakai, mereka tidak bisa memiliki sertifikat hak milik atas tanah secara langsung.
Kondisi inilah yang membuat Kimberly Ryder, meski telah menikah dengan Edward Akbar selama bertahun-tahun dan ikut berkontribusi dalam pembentukan aset keluarga, tidak bisa mendaftarkan properti atas namanya sendiri. Selama pernikahan, semua aset seperti rumah, kendaraan mewah, hingga lahan di Bali tercatat atas nama Edward sebagai WNI.
“Selama pernikahan, semua aset yang dibeli harus atas nama suami karena Kimberly adalah WNA. Itu konsekuensi hukum yang tidak bisa dihindari,” jelas Machi Ahmad, kuasa hukum Kimberly Ryder, dalam keterangan pers yang diterima media.
Rumah Mewah di Bali Jadi Titik Krusial dalam Sengketa Aset
Salah satu aset yang paling menjadi sorotan dalam kasus ini adalah sebuah rumah mewah seluas 400 meter persegi yang berlokasi di kawasan eksklusif Bali. Properti ini sempat menjadi objek sengketa karena nilai dan posisinya yang strategis.
Namun, setelah melalui proses mediasi yang cukup panjang dan difasilitasi oleh Polres Jakarta Selatan serta seorang notaris terpercaya, kedua belah pihak akhirnya mencapai kesepakatan damai. Sertifikat rumah tersebut tidak langsung dialihkan ke Kimberly, melainkan ke nama Irvina Zainal, ibu kandung Kimberly yang merupakan WNI.
“Karena Kimberly adalah WNA, dia tidak bisa mengatasnamakan tanah. Maka dari itu, diperlukan perwakilan WNI, yaitu ibunya, untuk menjadi pemegang sertifikat secara hukum,” terang Machi Ahmad lebih lanjut.
Meski tidak menjadi pemilik langsung, langkah ini dianggap sebagai solusi hukum yang paling efektif agar Kimberly tetap bisa mengakses dan mengelola aset tersebut secara tidak langsung.
Edward Akbar Pertahankan 200 Meter Tanah di Bali
Sementara itu, Edward Akbar juga memperoleh bagian dari aset yang diperoleh selama pernikahan. Dalam kesepakatan damai tersebut, ia tetap mempertahankan hak atas 200 meter persegi tanah di Bali sebagai bagian dari pembagian harta gono-gini.
Kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan semua sengketa secara hukum dan damai, tanpa memperkeruh suasana melalui pemberitaan atau perang pernyataan di media sosial. Sikap dewasa ini disambut positif oleh publik, terutama karena kasus perceraian selebriti sering kali berakhir dengan drama panjang.
Kimberly Lega: "Alhamdulillah Sudah Ada Kepastian Hukum"
Usai penyelesaian mediasi, Kimberly Ryder menyampaikan rasa leganya. Dalam pernyataan singkatnya, ia mengucapkan syukur karena proses yang panjang akhirnya menemui titik terang.
“Alhamdulillah sudah ada kepastian hukum,” ujar Kimberly, yang menunjukkan sikap tenang dan penuh pertimbangan meski menghadapi situasi yang cukup rumit secara hukum dan emosional.
Bagi Kimberly, proses ini bukan hanya tentang pembagian harta, tetapi juga tentang memastikan keadilan dan perlindungan hukum bagi dirinya sebagai ibu dan individu yang pernah berkontribusi dalam membangun kehidupan keluarga.
Perceraian dan Kepemilikan Aset: Pelajaran bagi Pasangan Beda Kewarganegaraan
Kasus Kimberly Ryder menjadi cerminan nyata betapa kompleksnya persoalan hukum yang dihadapi pasangan beda kewarganegaraan di Indonesia. Meskipun UU Perkawinan mengatur bahwa harta yang diperoleh selama pernikahan termasuk harta bersama (gono-gini), kenyataannya status kewarganegaraan tetap menjadi penghalang utama dalam pelaksanaan hak tersebut.
Banyak pasangan internasional yang mungkin tidak menyadari konsekuensi hukum ini sebelum menikah. Padahal, pemahaman sejak dini tentang hak kepemilikan, perjanjian pranikah (prenuptial agreement), dan strategi hukum seperti penggunaan badan hukum atau penunjukan perwakilan WNI bisa menjadi solusi antisipatif.
“Ini harus menjadi pelajaran bagi siapa pun yang menjalin hubungan lintas negara. Jangan sampai setelah pernikahan berakhir, muncul masalah hukum yang bisa merugikan salah satu pihak,” tegas seorang pengamat hukum keluarga dari Universitas Indonesia, yang enggan disebutkan namanya.
Proses Balik Nama Aset: Butuh Waktu, Biaya, dan Kesabaran
Selain persoalan hukum, proses balik nama aset juga tidak mudah. Dari segi administrasi, perubahan nama sertifikat tanah atau properti membutuhkan waktu yang cukup panjang, biaya notaris, pajak, hingga persetujuan dari berbagai instansi terkait.
Dalam kasus Kimberly, proses mediasi dan pengalihan sertifikat memakan waktu berbulan-bulan. Belum lagi risiko sengketa hukum jika salah satu pihak tidak kooperatif. Hal ini menunjukkan pentingnya dokumentasi yang rapi, transparansi keuangan, dan konsultasi dengan ahli hukum sejak dini.
Refleksi Sosial: Perlukah Reformasi Hukum Kepemilikan Aset untuk WNA?
Kasus ini juga membuka pertanyaan lebih besar: apakah hukum kepemilikan tanah di Indonesia perlu direvisi agar lebih inklusif bagi WNA yang menikah dengan WNI dan telah lama tinggal di Indonesia?
Beberapa negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia memiliki skema khusus yang memungkinkan WNA memiliki properti dalam batasan tertentu, terutama jika mereka menikah dengan warga lokal. Di Indonesia, meski ada opsi seperti HGB (Hak Guna Bangunan) atau sewa jangka panjang, aksesnya masih terbatas dan tidak serta-merta memberi kepastian hukum yang setara.
“Ini bukan hanya soal harta, tapi soal keadilan dan perlindungan hak asasi. Jika seseorang berkontribusi dalam membangun rumah tangga, seharusnya ada mekanisme hukum yang melindungi hak ekonominya, terlepas dari paspor yang dibawa,” ujar seorang aktivis perempuan yang fokus pada isu hukum keluarga.