Mengibarkan Bendera One Piece Menjelang HUT RI ke-80: Aksi Kreatif atau Bentuk Protes? Ini Kata Hukum dan Masyarakat

One Piece-Instagram-
Mengibarkan Bendera One Piece Menjelang HUT RI ke-80: Aksi Kreatif atau Bentuk Protes? Ini Kata Hukum dan Masyarakat
Menjelang perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80, sebuah fenomena unik dan kontroversial mencuri perhatian publik: maraknya pengibaran bendera Jolly Roger milik Monkey D. Luffy dari anime One Piece. Bendera hitam bergambar topi bertabur tengkorak dan pedang silang itu tiba-tiba muncul di berbagai penjuru negeri—dari atap rumah, kaca mobil, hingga kabin truk dan bus antarkota. Fenomena ini pun memicu perdebatan sengit di media sosial, antara yang mendukung sebagai ekspresi kreatif dan yang menolak karena dianggap tidak pantas di momen kemerdekaan.
Viral di Media Sosial, Netizen Terbelah
Aksi pengibaran bendera One Piece pertama kali menyebar luas melalui platform TikTok. Dalam sebuah unggahan dari akun @ifrianto.rahman, terlihat puluhan bendera Jolly Roger berkibar di berbagai lokasi, mulai dari perkampungan hingga jalur lintas provinsi. Video tersebut langsung menjadi viral, mengundang reaksi beragam dari netizen.
Beberapa warganet melihat aksi ini sebagai bentuk ekspresi kekecewaan terhadap kondisi politik dan pemerintahan saat ini. “Ini bentuk kekecewaan rakyat terhadap pemerintah yang bobrok. Mereka tidak bisa bicara langsung, jadi mereka menggunakan simbol yang bisa dimengerti secara global,” tulis akun @aprilia.
Sementara itu, akun @Libraa pangrib menilai bahwa bendera One Piece menjadi alternatif cara rakyat bersuara di tengah ruang demokrasi yang semakin sempit. “Kalau kita protes langsung, sering dibungkam. Tapi lewat simbol anime, pesannya bisa tersampaikan tanpa langsung menghadapi risiko,” ujarnya.
Ada pula yang memberikan analisis lebih dalam. Akun @Gilang P! menulis, “Rakyat tidak menolak negaranya. Mereka menolak sistem yang telah mengkhianati nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Bendera Straw Hat Pirates justru lebih merepresentasikan keadilan, persaudaraan, dan harapan—nilai-nilai yang mereka rasa semakin memudar dari simbol-simbol negara yang kini dianggap dikotori oleh kepentingan elit politik.”
Namun, tidak semua pihak setuju. Banyak netizen yang menganggap tindakan ini tidak pantas dilakukan di momen sakral seperti HUT RI. “Ini hari kemerdekaan, bukan ajang cosplay atau parade anime. Harusnya yang berkibar hanya Merah Putih,” komentar @satria_indonesia.
Simbolisme One Piece: Lebih dari Sekadar Anime
Bagi penggemar One Piece, bendera Jolly Roger bukan sekadar lambang bajak laut fiksi. Dalam dunia cerita yang dibangun Eiichiro Oda, Straw Hat Pirates adalah kelompok yang memperjuangkan kebebasan, keadilan, dan persahabatan. Mereka melawan tirani, menolong yang tertindas, dan mengejar mimpi tanpa kompromi. Bagi sebagian masyarakat, nilai-nilai ini justru lebih dekat dengan cita-cita kemerdekaan dibandingkan realitas politik saat ini.
“Banyak anak muda yang merasa bahwa semangat One Piece lebih menggambarkan perjuangan sejati ketimbang simbol-simbol formal yang terasa jauh dari rakyat,” ujar Dina, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Jakarta.
Namun, ada pula yang mengingatkan bahwa meskipun One Piece membawa pesan positif, ia tetap produk budaya asing. “Kita boleh mengagumi anime, tapi jangan sampai melupakan identitas nasional kita. Merah Putih harus tetap menjadi simbol utama di tanah air,” tegas Rudi, seorang guru sejarah di Bandung.
Hukum Mengibarkan Bendera Asing: Apakah Dilarang?
Pertanyaan besar yang muncul: Apakah mengibarkan bendera One Piece melanggar hukum? Untuk menjawab ini, KompasIndo menghubungi Dr. Rudi Pratama, pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada.
Menurut Dr. Rudi, tidak ada aturan spesifik dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara yang secara eksplisit melarang pengibaran bendera fiksi atau bendera asing selama tidak menggantikan atau merendahkan posisi Bendera Merah Putih.
“Selama bendera One Piece tidak dikibarkan lebih tinggi dari Merah Putih, tidak dipasang di instansi pemerintah, dan tidak digunakan dalam konteks yang menghina negara, maka secara hukum tindakan tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai pelanggaran,” jelasnya.
Namun, Dr. Rudi menekankan pentingnya kesadaran sosial. “Hukum mungkin tidak melarang, tapi etika dan konteks sosial harus tetap dijunjung tinggi. Momen HUT RI adalah momen sakral bagi bangsa. Masyarakat perlu bijak dalam mengekspresikan kritik atau kekecewaan, agar tidak menimbulkan perpecahan.”
Pemerintah Belum Angkat Suara, Tapi Wacana Mulai Panas
Hingga kini, pemerintah belum memberikan pernyataan resmi terkait maraknya fenomena ini. Namun, sejumlah tokoh masyarakat dan aktivis mulai angkat bicara. Ada yang mendukung sebagai bentuk kreativitas generasi muda, ada pula yang mengkhawatirkan bahwa simbol asing bisa menggerus rasa nasionalisme.
“Kita harus melihat akar masalahnya. Kalau rakyat merasa perlu menggunakan simbol anime untuk menyampaikan pesan, artinya ada yang salah dalam komunikasi antara pemerintah dan rakyat,” ujar aktivis sosial, Teguh Santoso.
Di sisi lain, komunitas penggemar One Piece di Indonesia membantah bahwa aksi ini merupakan bentuk penghinaan terhadap negara. “Kami tetap cinta Indonesia. Banyak dari kami yang juga ikut upacara HUT RI, menghormati bendera, dan menonton film perjuangan. Tapi kami juga ingin menyampaikan pesan lewat cara yang kreatif dan relevan dengan generasi kami,” kata Andika, koordinator komunitas One Piece Indonesia.
Antara Kritik Sosial dan Ekspresi Budaya Pop
Fenomena pengibaran bendera One Piece sebenarnya bukan pertama kali terjadi. Di berbagai negara, simbol-simbol pop culture sering digunakan sebagai bentuk protes halus atau kritik sosial. Di Jepang, simbol Demon Slayer pernah digunakan dalam kampanye kesehatan. Di Amerika Serikat, tokoh Batman pernah menjadi simbol perlawanan terhadap korupsi.
Namun, di Indonesia, konteksnya berbeda. Kemerdekaan adalah warisan berdarah-darah dari para pahlawan. Setiap Agustus, rakyat Indonesia secara massal menghormati jasa para pendiri bangsa dengan mengibarkan Merah Putih, menghias jalan dengan umbul-umbul, dan menggelar lomba 17-an.
“Kita boleh modern, boleh global, tapi jangan sampai kehilangan akar. Kritik boleh, bahkan perlu. Tapi sampaikan dengan cara yang tetap menghormati sejarah dan simbol-simbol nasional kita,” pesan Dr. Rudi Pratama.