TERUNGKAP! Penyebab Perspirex Pamit dari Indonesi dari Black Campaign Hingga Persaingan Bisnis yang Tidak Sehat

TERUNGKAP! Penyebab Perspirex Pamit dari Indonesi dari Black Campaign Hingga Persaingan Bisnis yang Tidak Sehat

Perspirex-Instagram-

TERUNGKAP! Penyebab Perspirex Pamit dari Indonesi dari Black Campaign Hingga Persaingan Bisnis yang Tidak Sehat
Dunia perawatan tubuh di Indonesia digemparkan oleh pengumuman tak terduga dari salah satu brand antiperspirant ternama, Perspirex. Melalui akun Instagram resminya, @perspirex_id, brand asal Denmark ini secara resmi mengumumkan keputusan untuk menghentikan operasionalnya di Indonesia. Dalam unggahan yang langsung viral, terpampang foto hitam putih bertuliskan kalimat sederhana namun menyentuh: "Indonesia, Kami Pamit."

Pesan singkat itu langsung memicu gelombang reaksi dari para pengguna setia. Banyak yang merasa kehilangan, sedih, bahkan marah. Pasalnya, selama beberapa tahun terakhir, Perspirex telah menjadi solusi andalan bagi mereka yang mengalami masalah berkeringat berlebih—dikenal secara medis sebagai hiperhidrosis. Produknya dikenal efektif, tidak menimbulkan iritasi, dan yang paling penting: tidak melakukan klaim berlebihan.



Dari Denmark untuk Dunia, Termasuk Indonesia
Perspirex bukan nama baru di dunia antiperspirant global. Berdiri sejak lama di Eropa, brand ini dikenal karena formulasi ilmiah yang kuat dan uji klinis yang ketat. Masuk ke Indonesia sekitar awal 2020-an, Perspirex langsung menarik perhatian masyarakat urban yang kritis terhadap kualitas produk perawatan tubuh.

"Kami datang dengan niat baik," tulis Perspirex dalam unggahannya. "Ingin membantu banyak orang merasa lebih percaya diri lewat solusi antiperspirant yang terbukti efektif secara ilmiah."

Faktanya, banyak pengguna melaporkan hasil nyata: keringat berkurang drastis, bau badan terkendali, dan aktivitas sehari-hari tidak lagi terganggu. Tidak heran jika Perspirex cepat mendapatkan fanbase yang loyal.



Alasan Mengejutkan di Balik Kepergian: Black Campaign dan Overclaim
Namun, di balik kesuksesan tersebut, Perspirex mengungkapkan adanya tekanan besar yang membuat mereka akhirnya memutuskan mundur dari pasar Indonesia. Bukan karena penjualan yang buruk, bukan pula karena regulasi pemerintah—melainkan persaingan bisnis yang tidak sehat.

Dalam pengumumannya, Perspirex secara eksplisit menyebut tiga faktor utama yang menjadi alasan kepergian mereka:

Klaim berlebihan (overclaim) dari brand pesaing
Kampanye hitam (black campaign) yang merusak reputasi
Penggunaan buzzer dan influencer bayaran untuk menjatuhkan kompetitor
"Sayangnya, banyak brand mulai overclaim. Beberapa bahkan sengaja menjatuhkan lewat black campaign. Buzzer digunakan untuk merusak reputasi," tulis mereka dengan nada yang terasa kecewa.

Perspirex menegaskan bahwa mereka tidak pernah terlibat dalam praktik seperti itu. Sebaliknya, mereka justru menjadi korban. Beberapa tahun terakhir, kata mereka, muncul narasi-narasi negatif di media sosial yang menyebut produk mereka berbahaya, mengandung bahan kimia beracun, atau menyebabkan iritasi—padahal tidak ada bukti ilmiah yang mendukung klaim tersebut.

Sudah Berusaha, Tapi Tidak Bisa Bertahan
"Kami sudah berusaha sekuat mungkin," lanjut Perspirex. "Tapi pada akhirnya, kami tidak bisa lagi melanjutkan perjalanan ini."

Keputusan ini bukan dibuat secara impulsif. Menurut sumber terpercaya yang enggan disebutkan namanya, tim Perspirex telah melakukan evaluasi pasar selama beberapa bulan. Mereka sempat mencoba menghadapi serangan dengan edukasi, kampanye transparansi, hingga kolaborasi dengan dokter kulit. Namun, arus informasi negatif yang terus-menerus diproduksi oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab membuat upaya mereka sia-sia.

"Kami tidak bisa melawan arus yang dibayar," ujar sumber tersebut. "Di satu sisi, kami ingin jujur dan ilmiah. Di sisi lain, ada brand yang menghabiskan jutaan rupiah untuk membanjiri media sosial dengan narasi palsu. Itu sangat tidak adil."

Kampanye "Stop Black Campaign" yang Dulu Digemakan
Ironisnya, Perspirex bukanlah brand yang diam saja. Pada tahun 2024, mereka justru menjadi pelopor kampanye #StopBlackCampaign di industri perawatan tubuh. Lewat berbagai konten edukatif, mereka mendorong para pelaku usaha untuk bersaing secara sehat, jujur, dan berbasis fakta.

"Kami percaya bahwa persaingan yang sehat akan menghasilkan inovasi yang baik," tulis mereka kala itu. "Bukan dengan menjatuhkan, tapi dengan membuktikan kualitas."

Bahkan, beberapa waktu sebelum pengumuman perpisahan, Perspirex sempat mengunggah Instagram Story berupa baliho yang mengingatkan konsumen untuk tidak tergiur dengan klaim berlebihan. Salah satu contoh yang ditunjukkan adalah produk pesaing yang mengklaim bisa "tahan keringat hingga 10 hari"—sebuah angka yang secara ilmiah sangat meragukan, mengingat sifat alami keringat dan aktivitas tubuh manusia.

Meski nama brand tersebut diburamkan, banyak netizen yang langsung mengenali siapa yang dimaksud. Konten itu pun menjadi viral, dibanjiri dukungan dari para pengguna yang merasa selama ini dibohongi oleh iklan-iklan bombastis.

Respons Netizen: Duka dan Kemarahan
Pengumuman kepergian Perspirex langsung memicu gelombang emosi di media sosial. Di kolom komentar unggahan tersebut, ratusan pengguna menyampaikan rasa kecewa, sedih, bahkan kemarahan terhadap sistem persaingan bisnis yang mereka nilai tidak adil.

"Please jangan pergi donggg... Hanya produk kalian yang benar-benar ampuh dan sebagus itu... gak overclaim pula," tulis akun @leebitnoya.

"Gak bisa dituntut aja ya pihak yang ngerugiin kalian? Ini kan perusakan reputasi secara terencana," komentar @sheiswritingher, yang langsung mendapat ratusan likes.

Banyak yang menuntut transparansi dan regulasi lebih ketat terhadap praktik black campaign di dunia digital marketing. Mereka menilai, jika brand yang jujur dan berkualitas seperti Perspirex bisa dikalahkan hanya karena tidak mau ikut dalam "perang kotor", maka konsumenlah yang akan menjadi korban jangka panjang.

Refleksi untuk Industri Perawatan Tubuh Indonesia
Kepergian Perspirex menjadi cermin penting bagi perkembangan industri personal care di Indonesia. Di satu sisi, pasar sedang tumbuh pesat. Di sisi lain, maraknya praktik overclaim, penggunaan buzzer, dan black campaign mengancam keberlangsungan brand yang benar-benar ingin berinovasi secara jujur.

Ahli pemasaran digital, Rizal Pratama, mengatakan bahwa fenomena ini mencerminkan "krisis kepercayaan" di ranah e-commerce dan media sosial.

"Ketika yang menang bukan kualitas, tapi siapa yang paling gencar menyerang kompetitor, maka pasar akan kehilangan arah," ujarnya. "Konsumen butuh perlindungan lebih, dan regulator harus lebih aktif."

Ia menyarankan agar pemerintah, melalui Kementerian Perdagangan dan BPOM, memperketat aturan terhadap klaim produk dan iklan di media digital. Selain itu, platform seperti Instagram dan TikTok juga perlu meningkatkan sistem moderasi untuk memfilter konten promosi yang menyesatkan.

Apa yang Harus Dilakukan Konsumen?
Bagi masyarakat umum, kepergian Perspirex menjadi pengingat penting: tidak semua yang viral itu berkualitas, dan tidak semua yang jujur itu bisa bertahan.

TAG:
Sumber:


Berita Lainnya