Menteri Agus Andrianto Geram Lihat Pegawai Imigrasi di Bali Bertato Penuh Tubuh: Bisa Jadi Tanda Gangguan Mental

Agus-Instagram-
Menteri Agus Andrianto Geram Lihat Pegawai Imigrasi di Bali Bertato Penuh Tubuh: Bisa Jadi Tanda Gangguan Mental
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM sekaligus Menteri Imigrasi, Agus Andrianto, mendadak menjadi sorotan publik setelah menyampaikan kecaman keras terhadap dua pegawai Imigrasi di Bali yang memiliki tato di sekujur tubuhnya. Mantan Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Wakapolri) ini tak menahan kemarahannya, bahkan menyebut kemungkinan adanya gangguan mental pada pegawai yang baru dua tahun bekerja tersebut.
Pernyataan Agus Andrianto disampaikan dalam sebuah sesi wawancara eksklusif yang diunggah melalui kanal YouTube resmi Kementerian Hukum dan HAM, yang kemudian dikutip oleh sejumlah media, termasuk Kilat.com. Dalam rekaman tersebut, nada suaranya terdengar tegas dan penuh kekecewaan saat membahas fenomena pegawai negeri sipil (PNS) yang tampil dengan tato besar dan menutupi hampir seluruh bagian tubuh.
"Ini Bukan Soal Anti-Tato, Tapi Etika dan Profesionalisme"
Agus menegaskan bahwa dirinya tidak anti-tato secara mutlak. Ia memahami bahwa tato, dalam konteks budaya atau seni, bisa menjadi ekspresi pribadi. Namun, menurutnya, ada batas yang harus dihormati, terutama bagi aparatur negara yang bertugas mewakili institusi pemerintah di depan publik, terutama di pos-pos strategis seperti imigrasi.
“Saya tidak anti-tato. Kalau tato kecil, tidak kelihatan, ya nggak masalah. Tapi ini tato sepanjang badan, dari leher sampai kaki. Itu sudah bukan lagi soal gaya, tapi soal etika dan profesionalisme,” ujarnya dengan nada tegas.
Ia menambahkan bahwa penampilan seperti itu bisa menimbulkan kesan menakutkan, khususnya bagi wisatawan asing yang datang ke Bali—salah satu destinasi wisata utama Indonesia. “Bayangkan, turis asing yang datang dari negara dengan budaya yang berbeda, melihat petugas imigrasi dengan tato besar seperti itu. Bisa saja mereka merasa tidak nyaman, bahkan ketakutan. Padahal, tugas imigrasi adalah memberi pelayanan yang ramah dan profesional.”
Diduga Punya Riwayat Kriminal, Agus Sarankan Pemecatan
Yang membuat situasi semakin pelik, Agus mengungkapkan bahwa salah satu pegawai tersebut diduga memiliki riwayat tindakan kriminal di masa lalu. Meski tidak menyebutkan secara detail jenis pelanggaran hukum yang pernah dilakukan, ia menekankan bahwa integritas dan rekam jejak menjadi faktor penting dalam pengangkatan dan pemertahanan pegawai negeri.
“Saya sudah telepon Kapolres setempat. Kalau ternyata ada pelanggaran hukum, ya proses sesuai hukum. Kalau memang terbukti banyak kejahatannya, ya harus diproses. Dan kalau memang tidak punya niat baik jadi pegawai, lebih baik dipecat saja,” tegasnya.
Pernyataan ini langsung memicu perdebatan di media sosial. Sebagian masyarakat mendukung sikap tegas Agus Andrianto, menyebut bahwa penampilan PNS harus mencerminkan kedisiplinan dan kewibawaan. Namun, tidak sedikit pula yang mempertanyakan hak individu dalam mengekspresikan diri, serta menyoroti perlunya kebijakan yang lebih jelas mengenai tato bagi pegawai negeri.
DPR Diminta Evaluasi Aturan Internal Imigrasi
Akibat kontroversi ini, sejumlah pihak mulai menyerukan evaluasi menyeluruh terhadap aturan internal Kementerian Hukum dan HAM, khususnya terkait standar penampilan dan integritas pegawai Imigrasi. Anggota Komisi III DPR RI, yang membidangi hukum dan HAM, menyatakan bahwa kasus ini bisa menjadi momentum untuk merevisi pedoman disiplin pegawai.
“Ini bukan soal diskriminasi terhadap orang bertato, tapi soal kesesuaian penampilan dengan fungsi dan citra institusi negara,” ujar salah satu anggota dewan yang enggan disebutkan namanya. “Kita perlu aturan yang jelas: boleh tidaknya tato, di mana boleh, dan kapan harus ditutupi saat bertugas.”
Kemenkumham Siapkan Audit Internal
Menanggapi kemarahan publik dan pernyataan Agus Andrianto, Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktorat Jenderal Imigrasi telah membentuk tim audit internal untuk menyelidiki lebih lanjut kasus ini. Tim tersebut akan memeriksa rekam jejak kedua pegawai, termasuk proses rekrutmen, latar belakang hukum, dan kepatuhan terhadap kode etik PNS.
Selain itu, Kemenkumham juga berencana mengeluarkan surat edaran resmi yang memperjelas aturan terkait penampilan fisik pegawai, termasuk larangan tato yang terlalu mencolok atau menutupi area tubuh yang sering terlihat saat bertugas.
Tato dan Budaya: Haruskah Jadi Pertentangan?
Di tengah hiruk-pikuk perdebatan ini, sejumlah pegiat budaya dan hak asasi manusia mengingatkan agar tidak terjebak dalam stigma negatif terhadap tato. Mereka menilai, tato adalah bagian dari ekspresi seni dan identitas, yang dalam banyak budaya Nusantara—seperti di Bali, Papua, dan Sunda—memiliki nilai sakral dan historis yang tinggi.
“Jangan sampai kita menghakimi seseorang hanya dari penampilan luarnya. Yang penting adalah integritas, kinerja, dan sikap dalam melayani masyarakat,” ujar Dian, seorang antropolog dari Universitas Gadjah Mada.
Namun, di sisi lain, para pendukung kebijakan ketat berpendapat bahwa institusi pemerintah harus menjaga citra netral, bersih, dan profesional. “PNS bukan selebritas atau seniman. Mereka adalah wajah negara. Masyarakat berhak mendapatkan pelayanan dari orang-orang yang terlihat bisa dipercaya,” tambah seorang pengamat kebijakan publik.