Warga Jombang Geram, PBB Naik Hingga 400% – Bayar Pajak Pakai Uang Koin dari Celengan Anak Jadi Viral

uang-pixabay-
Warga Jombang Geram, PBB Naik Hingga 400% – Bayar Pajak Pakai Uang Koin dari Celengan Anak Jadi Viral
Aksi protes unik dan menyentuh hati masyarakat terjadi di Kantor Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Jombang. Sejumlah warga datang membawa galon berisi uang koin hasil tabungan anak-anak mereka sebagai bentuk penolakan terhadap kenaikan drastis Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2). Peristiwa yang terjadi pada Senin (11/8/2025) ini langsung viral di media sosial, memicu simpati dan perdebatan luas di kalangan netizen.
Aksi yang diunggah melalui akun Instagram @rumpi_gosip ini memperlihatkan seorang pria yang datang ke kantor pajak sambil membawa galon air mineral berisi uang receh. Bersamanya, lima warga lainnya turut hadir secara kompak untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan kenaikan PBB yang dinilai tiba-tiba dan sangat memberatkan.
PBB Melonjak 400%, Warga Syok dan Terbebani
Salah satu warga yang turut serta dalam aksi tersebut, Joko Fattah Rochim, mengungkapkan bahwa pajak tahunan rumahnya sebelumnya hanya berkisar Rp300 ribu. Namun, sejak tahun 2024, nominalnya melonjak hingga mencapai Rp1,2 juta—artinya naik hampir 400 persen dalam waktu singkat.
"Kami bukan menolak bayar pajak. Kami sadar itu kewajiban sebagai warga negara. Tapi kenaikannya terlalu besar, tanpa peringatan, tanpa sosialisasi. Kami kaget, bingung, dan benar-benar terbebani," ujar Joko dengan nada emosional.
Bagi warga berpenghasilan menengah ke bawah, kenaikan seperti ini bukan sekadar angka—tapi berdampak langsung pada keseharian mereka. Uang yang seharusnya bisa digunakan untuk kebutuhan pokok, pendidikan anak, atau kesehatan, kini harus dialihkan untuk memenuhi kewajiban pajak yang tiba-tiba membengkak.
Aksi Simbolik: Uang Koin dari Celengan Anak
Yang membuat aksi ini menjadi perhatian publik adalah cara warga membayar pajak—dengan uang koin dari celengan anak-anak mereka. Salah satu peserta aksi mengaku terpaksa memecah celengan milik anaknya yang telah dikumpulkan sejak masih duduk di bangku SMP.
"Anak saya menangis waktu celengannya dipecah. Tapi kami tidak punya pilihan. Uang tunai kami tidak cukup. Ini bentuk protes kami, tapi juga kenyataan pahit yang kami alami," ucapnya sambil menahan isak.
Galon berisi koin yang mereka bawa bukan hanya alat pembayaran, tapi simbol dari ketidakadilan yang dirasakan. Ini adalah bentuk sindiran halus terhadap pemerintah daerah: bahwa kenaikan pajak yang terlalu tinggi dan tiba-tiba sama saja memaksa rakyat kecil mengorbankan masa depan anak-anak mereka.
Bapenda Jelaskan Kenaikan karena Pemutakhiran NJOP
Menanggapi protes warga, Kepala Bapenda Kabupaten Jombang, Drs. Agus Santoso, menjelaskan bahwa kenaikan PBB-P2 disebabkan oleh pembaruan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang dilakukan secara berkala oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.
"Kami tidak menentukan sendiri tarifnya. Kenaikan terjadi karena ada revisi data NJOP, yang memang sudah waktunya diperbarui untuk mencerminkan kondisi riil nilai properti di lapangan," jelas Agus.
Sebagai contoh, di kawasan Jalan KH Wakhid Hasyim, nilai NJOP yang sebelumnya hanya Rp1,1 juta per meter persegi melonjak menjadi Rp10 juta. Lonjakan ini otomatis memengaruhi besaran PBB yang harus dibayar oleh pemilik tanah dan bangunan.
Agus menambahkan bahwa pembaruan NJOP dilakukan setiap tiga hingga lima tahun sekali untuk menyesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan infrastruktur di wilayah tersebut. Namun, ia mengakui bahwa sosialisasi mengenai perubahan ini memang belum maksimal.
Sosialisasi Minim, Rakyat yang Kena Imbas
Banyak warga mengaku tidak pernah menerima pemberitahuan resmi atau edukasi mengenai rencana kenaikan PBB. Mereka baru tahu saat menerima Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dengan nominal yang jauh lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya.
"Kami tidak melihat ada peningkatan infrastruktur yang signifikan di lingkungan kami. Jalan masih berlubang, drainase mampet, tapi pajak naik empat kali lipat? Itu yang membuat kami merasa tidak adil," ujar Siti Nurhaliza, warga Kelurahan Jombang Wetan.
Kondisi ini memperlihatkan celah besar dalam komunikasi antara pemerintah daerah dan masyarakat. Kebijakan yang sebenarnya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah justru berpotensi menimbulkan ketegangan sosial jika tidak disertai transparansi dan edukasi yang memadai.
Respons Publik dan Harapan Warga
Aksi warga Jombang ini cepat menyebar di media sosial. Banyak netizen yang menyampaikan dukungan, menyebut aksi tersebut sebagai "protes damai yang menyentuh nurani". Beberapa akun membagikan cerita serupa dari daerah lain, menunjukkan bahwa persoalan kenaikan PBB bukan hanya terjadi di Jombang, tapi juga di berbagai wilayah di Indonesia.
Di sisi lain, sejumlah pihak menekankan pentingnya kewajiban membayar pajak. Namun, mereka juga mendesak pemerintah untuk lebih bijak dan adil dalam merancang kebijakan fiskal, terutama yang menyangkut rakyat kecil.
Warga berharap pemerintah dapat membuka ruang dialog, meninjau kembali besaran kenaikan, serta memberikan relaksasi atau skema cicilan bagi mereka yang benar-benar kesulitan.
Butuh Kebijakan yang Berkeadilan dan Berempati
Peristiwa di Jombang seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah daerah dan pusat. Kebijakan pajak, meskipun bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara, harus tetap memperhatikan daya beli dan kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Kenaikan pajak yang terlalu besar dan mendadak tanpa persiapan, sosialisasi, dan kebijakan mitigasi, hanya akan memperlebar jurang ketimpangan. Rakyat kecil yang sudah hidup di garis pas-pasan, kini harus memilih antara membayar pajak atau memenuhi kebutuhan dasar keluarga.
Dalam jangka panjang, transparansi, partisipasi publik, dan kebijakan yang berbasis data serta empati menjadi kunci utama. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap rupiah yang dikumpulkan dari pajak kembali ke masyarakat dalam bentuk pelayanan publik yang berkualitas.