Gugatan Rp 119 Triliun ke Hary Tanoe dan MNC Group: Drama Hukum Paling Spektakuler di Indonesia?

Gugatan Rp 119 Triliun ke Hary Tanoe dan MNC Group: Drama Hukum Paling Spektakuler di Indonesia?

Hary-Instagram-

Gugatan Rp 119 Triliun ke Hary Tanoe dan MNC Group: Drama Hukum Paling Spektakuler di Indonesia?

Sebuah gugatan perdata senilai Rp 119 triliun mengguncang dunia hukum dan bisnis Tanah Air. Di tengah sorotan publik yang intens, Hary Tanoesoedibjo (Hary Tanoe), pendiri dan bos MNC Group, serta perusahaan induknya PT MNC Asia Holding Tbk (dulunya PT Bhakti Investama), kini berada di ujung tanduk setelah digugat oleh PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan ini bukan hanya menjadi yang terbesar dalam sejarah peradilan Indonesia, tetapi juga membuka kembali luka lama dari transaksi keuangan yang terjadi lebih dari dua dekade lalu.



Gugatan Terbesar di Indonesia: Rp 119 Triliun, Siapa yang Bertanggung Jawab?
Nilai Rp 119 triliun bukan angka main-main. Jika dibayangkan, jumlah itu setara dengan lebih dari 70% anggaran pendidikan nasional dalam satu tahun. Gugatan yang diajukan CMNP terhadap Hary Tanoe dan entitas MNC Group ini terdiri dari dua komponen utama: kerugian materiil sebesar Rp 103 triliun dan kerugian immateriil mencapai Rp 16 triliun. Angka fantastis ini menandai sebuah momentum langka dalam dunia hukum Indonesia, di mana gugatan perdata melampaui batas wajar dan menyeret nama-nama besar di industri media dan keuangan.

Kuasa hukum CMNP, R. Primaditya Wirasandi, menyatakan bahwa gugatan ini didasarkan pada dugaan pelanggaran hukum terkait transaksi surat berharga yang terjadi pada tahun 1999. “Ini bukan sekadar sengketa bisnis biasa. Ini adalah upaya untuk memulihkan keadilan atas kerugian besar yang telah diderita perusahaan selama puluhan tahun,” ujarnya dalam konferensi pers.

Akar Masalah: Transaksi NCD yang Bermasalah di Tengah Krisis Ekonomi
Akar permasalahan bermula pada 12 Mei 1999, saat Indonesia masih terguncang oleh krisis ekonomi berkepanjangan. Saat itu, Hary Tanoe, melalui PT Bhakti Investama, menawarkan skema pertukaran surat berharga kepada CMNP. Skema tersebut melibatkan Negotiable Certificate of Deposit (NCD) senilai 28 juta dolar AS yang diterbitkan oleh Unibank, yang kemudian ditukar dengan Medium Term Note (MTN) senilai Rp 163,5 miliar dan obligasi tahap II sebesar Rp 189 miliar milik CMNP.



Transaksi ini dilakukan pada 27 dan 28 Mei 1999, dengan jatuh tempo pada Mei 2002. Namun, nasib berkata lain. Pada tahun 2001, Unibank dinyatakan sebagai Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) oleh pemerintah dan akhirnya ditutup secara resmi. Akibatnya, NCD senilai 28 juta dolar AS tersebut tidak dapat dicairkan pada Agustus 2002, menimbulkan kerugian besar bagi CMNP.

Tudingan: Hary Tanoe Diduga Tahu NCD Tidak Sah Sejak Awal
CMNP tidak hanya menyalahkan situasi krisis, tetapi juga menuding bahwa Hary Tanoe dan timnya telah mengetahui sejak awal bahwa NCD tersebut bermasalah dan tidak sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. Menurut Primaditya Wirasandi, penerbitan NCD oleh Unibank dilakukan tanpa izin resmi dan melanggar regulasi perbankan, sehingga secara hukum tidak sah.

“Jika pihak Hary Tanoe mengetahui risiko ini sejak awal, maka keterlibatannya bukan sekadar sebagai perantara, melainkan sebagai pihak yang turut serta dalam upaya mengalihkan risiko ke perusahaan kami,” tegasnya.

Tidak hanya itu, CMNP juga menuding adanya pemalsuan dokumen dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam transaksi tersebut. Untuk itu, pada 5 Maret 2025, perusahaan telah melaporkan dugaan tindak pidana ini ke Polda Metro Jaya. Penyidik kini tengah mengumpulkan bukti dan telah memeriksa sejumlah pihak, termasuk perwakilan CMNP, Hary Tanoe sendiri, serta pejabat dari Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Upaya Mediasi Gagal, Aset Disita sebagai Jaminan
Sebelum membawa perkara ke pengadilan, CMNP mengaku telah berupaya melakukan mediasi dengan pihak Hary Tanoe dan MNC Group. Namun, menurut mereka, upaya tersebut gagal total karena pihak tergugat tidak menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan sengketa secara damai.

Sebagai langkah hukum lanjutan, CMNP mengajukan permohonan sita jaminan (conservatoir beslag) terhadap seluruh aset milik Hary Tanoe dan PT MNC Asia Holding. Aset yang disita meliputi saham, gedung perkantoran, kendaraan mewah, hingga aset bergerak lainnya yang tersebar di berbagai lokasi.

Berdasarkan penelusuran internal CMNP, total aset pribadi Hary Tanoe diperkirakan mencapai Rp 15,6 triliun, sementara aset gabungan MNC Group mencapai Rp 18,98 triliun. Jumlah ini jauh di bawah nilai gugatan, yang menimbulkan pertanyaan besar: apakah gugatan ini realistis secara hukum dan ekonomi?

Hotman Paris Membela: “Kami Hanya Perantara yang Sah Secara Hukum”
Di sisi lain, pihak tergugat tidak tinggal diam. Hotman Paris Hutapea, kuasa hukum PT MNC Asia Holding, tampil vokal membela kliennya. Dalam konferensi pers pada 11 Maret 2025, Hotman menegaskan bahwa perannya dalam transaksi tersebut hanya sebagai perantara (arranger) antara CMNP dan Unibank.

“Ini bukan skema penipuan. Ini adalah transaksi bisnis yang disepakati secara sukarela oleh kedua belah pihak. Saat itu, CMNP membutuhkan dolar AS, dan Bhakti Investama ditunjuk sebagai pihak yang mengatur transaksi dengan Unibank, yang pada masa itu dianggap sebagai salah satu bank terkuat dan sehat,” jelas Hotman.

Ia juga menekankan bahwa seluruh proses telah melalui verifikasi oleh CMNP sendiri. “Jangan lupa, CMNP bukan perusahaan kecil. Mereka memiliki tim legal dan keuangan yang mumpuni. Mereka memverifikasi status NCD tersebut sebelum menyetujui transaksi,” tambahnya.

Pidana Sudah Kedaluwarsa? Argumen Hukum yang Menarik
Salah satu argumen kunci dari pihak MNC Group adalah soal kedaluwarsa hukum. Menurut Hotman Paris, transaksi terjadi pada tahun 1999, sementara gugatan baru diajukan lebih dari 25 tahun kemudian. Dalam hukum pidana, batas waktu pelaporan tindak pidana umumnya berkisar antara 6 hingga 18 tahun, tergantung jenis pelanggarannya.

“Secara pidana, kasus ini sudah kedaluwarsa. Tidak mungkin bisa diproses lebih lanjut. Ini hanya upaya untuk menekan secara psikologis dan menciptakan opini publik,” tegas Hotman.

Namun, dari sisi perdata, masa kedaluwarsa bisa lebih fleksibel, terutama jika dikaitkan dengan temuan baru (novelty) atau pengakuan utang yang terjadi setelah transaksi. Di sinilah letak kompleksitas hukum perkara ini.

Dugaan Agenda Tersembunyi: Apakah Ini Perang Bisnis?
Pihak MNC Group juga mencurigai adanya agenda tersembunyi di balik gugatan ini. Mereka menduga bahwa gugatan besar-besaran ini bukan semata-mata untuk menuntut ganti rugi, melainkan bagian dari perang bisnis atau persaingan strategis yang lebih luas.

“Kami menegaskan bahwa gugatan ini tidak berdampak pada operasional MNC Group maupun kinerja keuangan perusahaan. MNC tetap solid, dan bisnis kami terus berjalan normal,” ujar juru bicara MNC Group.

TAG:
Sumber:


Berita Lainnya