Gustika Jusuf Hatta, Cucu Bung Hatta, Sampaikan Kritik Pedas Lewat Busana Hitam dan Unggahan Natalius Pigai Bergoyang di HUT RI ke-80

Hatta-Instagram-
Gustika Jusuf Hatta, Cucu Bung Hatta, Sampaikan Kritik Pedas Lewat Busana Hitam dan Unggahan Natalius Pigai Bergoyang di HUT RI ke-80
Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia ke-80 di Istana Negara tidak hanya menjadi momen kebanggaan nasional, tetapi juga menjadi panggung bagi kritik sosial yang tajam dan penuh makna. Salah satu yang mencuri perhatian publik adalah kehadiran Gustika Jusuf Hatta, cucu proklamator dan Wakil Presiden pertama RI, Mohammad Hatta. Ia hadir bukan hanya sebagai tamu undangan, tetapi sebagai suara kritis yang menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap kondisi bangsa melalui simbolisme pakaian dan unggahan di media sosial.
Dalam rangkaian acara yang penuh khidmat, sosok Gustika tampil berbeda dari kebanyakan tamu lainnya. Ia mengenakan pakaian batik Slobog berwarna hitam — pilihan yang tidak biasa dalam perayaan kemerdekaan yang biasanya dipenuhi warna merah-putih. Namun, bagi Gustika, busana itu bukan sekadar gaya, melainkan sebuah pernyataan politik yang sarat makna.
Busana Hitam sebagai "Protes Diam" atas Kondisi Bangsa
Melalui unggahan di akun Instagram pribadinya, @gustikajusuf, pada 17 Agustus 2025, Gustika menjelaskan bahwa pilihan batik hitam bukan tanpa alasan. Ia menyebutnya sebagai "protes diam" terhadap arah kebijakan pemerintahan saat ini yang dinilainya belum mampu menjawab harapan rakyat.
"Anggap saja ini sebagai bentuk protes diam, dan juga cara untuk merangkul 1/8 warisan Jawa saya — sekaligus cara menyampaikan perasaan terdalam saya. Mungkin akan saya pertahankan selama lima tahun ke depan," tulisnya dalam bahasa Inggris yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Pernyataan tersebut langsung viral dan menjadi bahan perbincangan luas di jagat maya. Banyak warganet yang memuji keberanian Gustika menyampaikan kritik secara elegan, namun tetap tegas. Batik Slobog sendiri merupakan kain tradisional dari Solo yang dikenal dengan motifnya yang khas dan sering digunakan dalam upacara adat. Namun, penggunaan warna hitam yang tidak lazim dalam konteks kemerdekaan menambah nuansa duka dalam pesannya.
"Saya Berkabung untuk Indonesia"
Lebih jauh, Gustika menyampaikan bahwa ia sedang "berkabung" atas kondisi Indonesia saat ini. Baginya, berkabung bukan berarti menyerah atau pesimistis, melainkan bentuk tanggung jawab moral sebagai warga negara yang mencintai republik ini.
"Dukaku lahir dari rasa cinta yang mendalam pada Republik ini. Bagiku, berkabung bukan berarti putus asa, dan merayakan bukan berarti menutup mata. Berkabung adalah jeda untuk jujur menatap sejarah, memelihara ingatan, dan menagih hak rakyat serta janji-janji konstitusi kepada Republik Indonesia," tulisnya dengan nada yang puitis namun menyentuh.
Ungkapan ini menunjukkan bahwa kritik yang disampaikan bukan berasal dari kebencian, melainkan dari kepedulian yang mendalam terhadap nilai-nilai dasar bangsa. Ia mengajak masyarakat untuk tidak hanya merayakan kemerdekaan secara seremonial, tetapi juga merenungkan sejauh mana kemerdekaan itu telah diwujudkan dalam kehidupan nyata rakyat.
Viral: Natalius Pigai Bergoyang, Dicap "Penjilat Rezim" oleh Gustika
Namun, yang paling menyedot perhatian publik adalah unggahan video di slide terakhir postingan Gustika. Video tersebut menampilkan Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, tengah asyik menari di tengah acara HUT RI ke-80. Ekspresi bahagia dan gerakan goyangnya kontras dengan suasana duka yang ingin disampaikan Gustika.
Tanpa basa-basi, Gustika menulis keterangan yang keras:
"Bonus: Swipe ke slide terakhir untuk lihat penjilat rezim dan menteri HAM (ironic) lagi joget di atas penderitaan rakyat."
Kalimat ini langsung memicu gelombang reaksi di media sosial. Kata "penjilat rezim" dan "joget di atas penderitaan rakyat" menjadi viral dan di-retweet ribuan kali. Banyak netizen yang merasa diwakili oleh pernyataan Gustika, terutama mereka yang kritis terhadap pemerintah dan kebijakan yang dinilai semakin jauh dari rakyat kecil.
Respons Publik: Dari Pujian hingga Kontroversi
Respons publik terhadap unggahan Gustika sangat beragam. Banyak yang memuji keberaniannya menyuarakan kebenaran di tengah lingkungan elit kekuasaan.
"Sebagai belasungkawa atas matinya rasa empati dan rasa malu," komentar akun @nadianesa, mencerminkan kekecewaan terhadap sikap pejabat yang dianggap tidak peka.
"Saya sebut kau cantik dan pemberani," tulis @suciaprilianti_, menyoroti keberanian Gustika sebagai perempuan muda yang tidak takut bersuara.
Namun, tidak sedikit pula yang menyerang balik, menuduh Gustika mencari sensasi atau tidak menghormati momen kemerdekaan. Beberapa akun menyebut bahwa menari dalam acara resmi bukanlah hal yang salah, dan bahwa Natalius Pigai memiliki hak untuk menikmati momen sukacita.
Natalius Pigai, Menteri HAM yang Kontroversial
Natalius Pigai sendiri bukan sosok asing dalam dunia politik dan HAM Indonesia. Mantan Komisioner Komnas HAM ini dikenal vokal dan blak-blakan, namun keputusannya untuk menerima jabatan menteri di pemerintahan saat ini menuai pro-kontra. Banyak aktivis HAM yang meragukan independensinya, terutama karena kebijakan pemerintah dianggap kerap melanggar hak asasi, khususnya di wilayah Papua dan dalam penanganan isu lingkungan.
Video goyangnya di Istana pun menjadi simbol bagi sebagian kalangan: bahwa pejabat publik kini lebih sibuk menari daripada menyelesaikan persoalan rakyat. Bagi Gustika, adegan itu bukan sekadar hiburan, melainkan ironi yang menyakitkan.
Warisan Bung Hatta dan Tanggung Jawab Moral
Sebagai cucu dari Mohammad Hatta — tokoh yang dikenal dengan integritas, kesederhanaan, dan komitmennya terhadap keadilan sosial — Gustika tampaknya merasa terpanggil untuk meneruskan warisan moral sang kakek. Ia tidak hadir untuk menikmati kemewahan Istana, melainkan untuk mengingatkan bahwa kemerdekaan bukan akhir perjuangan, melainkan awal dari pertanggungjawaban.
Dalam satu kesempatan, Gustika pernah mengatakan bahwa "kemerdekaan tanpa keadilan adalah ilusi". Pernyataan itu kini kembali relevan, terutama di tengah meningkatnya kesenjangan sosial, kriminalisasi aktivis, dan pelemahan lembaga demokrasi.
Refleksi Kemerdekaan di Usia 80 Tahun
HUT RI ke-80 seharusnya menjadi momen refleksi nasional. Indonesia telah melalui delapan dekade perjalanan — dari masa revolusi, Orde Baru, Reformasi, hingga era digital. Namun, seperti ditunjukkan oleh Gustika, masih banyak janji konstitusi yang belum ditepati: keadilan sosial, kedaulatan rakyat, dan penghormatan terhadap HAM.
Kritik yang disampaikan bukan untuk merendahkan, tetapi untuk membangkitkan kesadaran kolektif. Bahwa kemerdekaan harus dirayakan dengan kritis, bukan dengan euforia buta. Bahwa kehadiran di Istana tidak boleh mengaburkan realitas di luar sana: petani yang kehilangan lahan, nelayan yang ditangkap, aktivis yang diintimidasi, dan rakyat yang masih hidup dalam kemiskinan.