Siapa Anak dan Istri Lopo Aris Wibowo? Sosok Perangkat Desa di Grobogan yang Pamer Mobil Mewah Meski Gaji Hanya Rp2 Juta, Bukan Orang Sembarangan?

Lopo aris wibowo-Instagram-
Siapa Anak dan Istri Lopo Aris Wibowo? Sosok Perangkat Desa di Grobogan yang Pamer Mobil Mewah Meski Gaji Hanya Rp2 Juta, Bukan Orang Sembarangan?
Biodata Tampang Lopo Aris Wibowo, Perangkat Desa di Grobogan yang Pamer Mobil Mewah Meski Gaji Hanya Rp2 Juta: Umur, Agama dan Akun Instagram
Viral di Medsos, Perangkat Desa di Grobogan Tantang Warganet Pamer Mobil Mewah Meski Gaji Hanya Rp2 Juta – Netizen Geram
Sebuah video yang diunggah di media sosial pada 18 Agustus 2025 menjadi sorotan publik setelah menampilkan seorang perangkat desa di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, yang diduga sengaja pamer mobil mewah. Yang membuat heboh, sang perangkat desa justru menantang warganet untuk menunjukkan mobil mereka, padahal diketahui secara umum bahwa gaji perangkat desa hanya berkisar Rp2 juta per bulan. Konten ini langsung memicu gelombang kritik dan perdebatan sengit di jagat maya.
Video berdurasi 21 detik yang kini viral tersebut diunggah oleh akun Twitter @jateng_twit dan cepat menyebar ke berbagai platform digital. Dalam rekaman, tampak seorang pria yang diduga sebagai Kepala Dusun (Kadus) dari Dusun Randurejo, Grobogan, sedang duduk di dalam sebuah mobil mewah. Ia tampak percaya diri, tersenyum lebar, sambil bercerita tentang mobil yang ditumpanginya. Di sampingnya, beberapa rekannya sesama perangkat desa hanya tertawa kecil, seolah menikmati momen tersebut.
Namun, yang membuat video ini jadi bahan perbincangan bukan hanya kemewahan mobilnya, melainkan pernyataan sang Kadus yang terdengar menantang. “Kalah gaji, menang gaya. Gaji perangkat desa cuma 2 juta, tapi mobilnya? Piye menurutmu? Koe sing komen-komen, mobilmu opo? Tunjukkan!” ujarnya dengan nada provokatif, seolah mengejek warganet yang mungkin tidak mampu membeli mobil sekelas itu.
Ungkapan tersebut langsung memicu kemarahan netizen. Banyak yang merasa gerah melihat sikap arogan dan sikap tidak pantas dari seorang aparatur desa yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat. “Perangkat desane siapa ini? Sombong amat. Dia gak sadar kalau gajinya dari uang pajak rakyat!” tulis salah satu netizen dalam komentar unggahan tersebut.
Gaji Perangkat Desa vs Gaya Hidup Mewah: Ada yang Tidak Beres?
Fakta bahwa gaji perangkat desa hanya sekitar Rp2,2 juta per bulan menjadi dasar utama kritik publik. Belum termasuk tunjangan, yang jika ditotal mencapai sekitar Rp3 juta hingga Rp5 juta per bulan — tergantung tambahan penghasilan dari lahan pertanian atau usaha sampingan. Namun, angka tersebut jelas tidak cukup untuk membeli mobil mewah secara tunai, apalagi jika mobil tersebut tergolong keluaran terbaru atau dari merek premium.
Seorang netizen dengan akun @yogazzzt mencoba menghitung secara rinci: “Gaji pokok Rp2,2 juta/bulan, tunjangan Rp750 ribu, hasil sawah sekitar Rp2 juta (jika punya lahan), total asumsi penghasilan bersih Rp5 juta/bulan. Kalau bisa beli mobil mewah, ya harus dipertanyakan. Pasti ada ‘cari-cari’ di baliknya.”
Pernyataan ini menguatkan dugaan banyak warganet bahwa ada praktik-praktik tidak transparan dalam pengelolaan dana desa. Banyak yang menduga bahwa oknum perangkat desa bisa memperoleh penghasilan tambahan melalui proyek-proyek pembangunan, pengurusan administrasi, atau bahkan jual beli jabatan di tingkat desa.
Jual Beli Jabatan dan Dana Desa: Isu yang Sering Terabaikan
Komentar akun @dewa_dennis semakin memperdalam dugaan tersebut. “Pak, kalau gaji guru cuma 2 juta, terus bisa beli mobil mewah, harus dipertanyakan uangnya dari mana. Biasanya, mereka juga dapat tanah garapan berapa hektar, atau malah terlibat jual beli jabatan ratusan juta untuk jadi perangkat desa,” tulisnya.
Fenomena jual beli jabatan di desa memang bukan hal baru. Di beberapa daerah, menjadi perangkat desa kerap dianggap sebagai “investasi” yang menguntungkan, meskipun secara resmi jabatan ini tidak diperjualbelikan. Namun, dalam praktiknya, calon perangkat desa sering diminta membayar sejumlah uang kepada kepala desa atau tokoh tertentu sebagai bentuk “balas budi” atau “dana kampanye”. Dana inilah yang kemudian diduga dikembalikan melalui penyelewengan anggaran desa.
Respons Publik: Kritik Tajam dan Tuntutan Transparansi
Reaksi publik terhadap video tersebut sangat keras. Banyak yang menuntut agar pihak berwenang, seperti Inspektorat Daerah atau Kejaksaan Negeri, melakukan audit mendalam terhadap pengelolaan keuangan desa di wilayah tersebut. “Ini bukan soal mobil, tapi soal integritas. Orang yang digaji oleh rakyat harusnya hidup sederhana, bukan pamer gaya hidup mewah,” komentar akun @aksararchery.
Netizen lain juga menyoroti pentingnya edukasi dan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan dana desa. “Harus ada gagasan untuk meningkatkan taraf berpikir masyarakat, terutama soal transparansi dan akuntabilitas,” tambahnya.
Pemerintah Diminta Bertindak Tegas
Hingga kini, belum ada pernyataan resmi dari Pemerintah Kabupaten Grobogan atau Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) terkait insiden ini. Namun, tekanan dari publik terus meningkat. Banyak yang meminta agar kasus ini tidak dianggap sepele, mengingat dana desa merupakan uang publik yang bersumber dari APBN dan ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat desa.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Diponegoro, Dr. Rudi Hartono, menilai bahwa kejadian seperti ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah daerah. “Ini bukan sekadar masalah gaya hidup, tapi indikator lemahnya pengawasan internal di tingkat desa. Dana desa harus dikelola secara transparan, dan perangkat desa harus diberi pelatihan etika kepemimpinan,” ujarnya dalam wawancara singkat.
Viral Bukan untuk Pamer, Tapi untuk Akuntabilitas
Meskipun awalnya viral karena konten yang provokatif, video ini justru membuka mata publik tentang pentingnya akuntabilitas di pemerintahan tingkat terkecil. Desa, sebagai ujung tombak pelayanan publik, harus menjadi contoh integritas, bukan ajang pamer kemewahan.
Kasus ini juga mengingatkan bahwa media sosial bisa menjadi alat kontrol sosial yang efektif. Ketika aparatur publik bertindak di luar norma, masyarakat kini memiliki platform untuk menyuarakan kekecewaan dan menuntut keadilan.