UGM Dituding Sengaja Matikan Listrik Saat Peluncuran Buku Kontroversial Jokowi White Paper, Publik Heboh
Jokowi-Instagram-
UGM Dituding Sengaja Matikan Listrik Saat Peluncuran Buku Kontroversial Jokowi White Paper, Publik Heboh
Suasana peluncuran buku berjudul Jokowi White Paper di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Sabtu, 18 Agustus 2025, mendadak ricuh. Acara yang seharusnya menjadi ruang diskusi intelektual justru berubah menjadi sorotan publik setelah terjadi pemadaman listrik mendadak—termasuk penonaktifan AC—tepat di tengah-tengah acara. Kejadian ini memicu spekulasi luas, bahkan tuduhan bahwa pihak kampus sengaja mematikan aliran listrik untuk mengganggu acara tersebut.
Buku Jokowi White Paper, yang ditulis oleh tiga tokoh publik ternama—Rismon Sianipar (dokter dan pengamat kebijakan), Dokter Tifa (dokter sekaligus aktivis), dan Roy Suryo (mantan Menteri Pemuda dan Olahraga)—diluncurkan sebagai karya kritis yang mengulas berbagai aspek kepemimpinan Presiden Joko Widodo selama dua periode. Buku ini diklaim sebagai dokumentasi komprehensif yang mengangkat isu-isu strategis, mulai dari kebijakan ekonomi, reformasi birokrasi, hingga isu hukum dan HAM.
Acara peluncuran digelar di salah satu ruang seminar gedung fakultas di kampus UGM, dengan mengundang sejumlah tokoh nasional, termasuk mantan pejabat BUMN Said Didu dan pakar hukum tata negara Refly Harun. Namun, ketika acara baru berlangsung beberapa menit—tepat saat pembacaan doa tengah dilakukan—tiba-tiba lampu ruangan padam, disusul matinya sistem pendingin udara (AC). Suasana yang semula tenang berubah menjadi kebingungan dan tanda tanya besar di benak para hadirin.
"Ada Tangan Jahat yang Mematikan Listrik"
Salah satu penulis buku, Roy Suryo, langsung mengambil mikrofon meski dalam gelap dan menyampaikan pernyataan yang mengejutkan. Ia menyebut kejadian itu bukan sekadar gangguan teknis, melainkan tindakan yang diduga sengaja dilakukan oleh pihak tertentu.
"Puji syukur pada Allah SWT dan alhamdulillah kita kembali ke kegelapan. Barusan kita melihat bersama di tengah-tengah doa yang kita panjatkan, kita persembahkan pada Allah SWT, ternyata ada tangan-tangan jahat yang mematikan listrik dan AC di ruangan ini," ujar Roy Suryo dengan nada tegas, disambut tepuk tangan dari sebagian peserta.
Ia menegaskan, sebagai mantan menteri dan akademisi, dirinya merasa kecewa melihat kampus yang seharusnya menjadi simbol kebebasan akademik justru diduga terlibat dalam upaya membungkam diskusi kritis. "Ini bukan hanya soal listrik mati. Ini soal prinsip. Soal kebebasan berpendapat. Soal integritas kampus sebagai ruang ilmu," tambahnya.
Kampus UGM: Tempat Kami Belajar
Roy juga menekankan bahwa UGM bukan sekadar institusi, melainkan tempat dirinya, Rismon Sianipar, dan Dokter Tifa pernah menuntut ilmu. “Tolong catat, ini kampus kami, kampus tempat saya, dokter Rismon, dan dokter Tifa belajar. Kami bukan orang luar yang datang untuk mengganggu. Kami pulang ke rumah untuk berbagi pemikiran,” ujarnya, menambahkan bahwa peluncuran buku ini seharusnya menjadi bentuk kontribusi intelektual alumni terhadap kampus.
Pernyataan Roy pun langsung viral di media sosial, khususnya Twitter (X), setelah diunggah oleh akun @msaid_didu. Video berdurasi 45 detik yang memperlihatkan detik-detik lampu padam saat doa tengah dibacakan telah ditonton lebih dari 6,8 juta kali dan dibagikan lebih dari 120 ribu kali hingga Minggu pagi (19/8/2025).
Reaksi Publik: Dari Kecaman hingga Ancaman Boikot
Reaksi publik terhadap kejadian ini begitu keras. Banyak netizen yang menyuarakan kemarahan terhadap dugaan intervensi kampus terhadap kebebasan akademik.
"Bangkai semakin ditutupin, makin ketahuan siapa aja yang nutup bangkainya. Nggak sadar masuk perangkap. Makin banyak barang bukti yang dihilangkan maka makin banyak meninggalkan jejak ke penulis skenario," tulis akun @dian_Wanmin, menyiratkan adanya skenario sistematis untuk membungkam kritik.
Tidak sedikit pula yang menyatakan akan memboikot UGM sebagai pilihan pendidikan bagi anak-anak mereka. "Gak sudi aku anakku di masukkan ke @ugmyogyakarta, mending ke ITB atau UNPAD aja lah nanti, kalau tidak jujur," ujar @yohanapriandi, mencerminkan kekhawatiran masyarakat terhadap kredibilitas institusi pendidikan tinggi.
Akun lain, @reggt120366, bahkan menantang pihak kampus untuk buka suara. "Gak malu kalian @ugmyogyakarta? Ini kampus negeri, bukan kantor partai atau kantor pemerintahan yang harus takut pada kritik," tegasnya.
UGM Belum Memberikan Klarifikasi Resmi
Hingga berita ini diturunkan, pihak Universitas Gadjah Mada belum memberikan pernyataan resmi terkait insiden pemadaman listrik tersebut. Humas UGM yang dihubungi oleh sejumlah media hanya menyatakan bahwa sedang melakukan pengecekan internal dan akan merilis pernyataan jika diperlukan.
Namun, beberapa sumber internal yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan bahwa pihak manajemen sempat khawatir acara tersebut akan memicu ketegangan, mengingat konten buku yang dianggap kritis terhadap kebijakan pemerintah. Meski demikian, mereka menekankan bahwa keputusan untuk mematikan listrik bukanlah instruksi resmi dari rektorat.
Kebebasan Akademik di Ujung Tanduk?
Insiden ini membuka kembali perdebatan luas tentang kebebasan akademik di perguruan tinggi Indonesia. UGM, yang selama ini dikenal sebagai kampus pelopor gerakan intelektual dan reformasi, kini berada di bawah sorotan tajam. Banyak pihak mempertanyakan apakah kampus-kampus negeri masih mampu menjadi ruang netral bagi diskusi kritis, atau justru mulai tunduk pada tekanan politik dan birokrasi.
Pakar komunikasi politik dari Universitas Indonesia, Dr. Lina Meilina, menilai bahwa kejadian ini mencerminkan semakin tipisnya ruang bagi kritik di ranah publik. "Ini bukan hanya soal listrik mati. Ini simbol dari upaya sistematis untuk membungkam suara yang berbeda. Ketika kampus—yang seharusnya menjadi pelindung kebebasan berpikir—ikut terlibat, maka alarm besar harus berbunyi," ujarnya dalam wawancara eksklusif.
Buku Jokowi White Paper: Kritik yang Tak Boleh Dihentikan
Di tengah kontroversi, buku Jokowi White Paper justru semakin diminati. Beberapa toko buku daring melaporkan lonjakan signifikan dalam pre-order, sementara diskusi-diskusi informal tentang isi buku bermunculan di platform media sosial seperti TikTok, Instagram, dan YouTube.
Buku setebal 480 halaman ini diklaim menggunakan pendekatan data-driven, dengan mengutip ratusan dokumen kebijakan, hasil riset, dan wawancara mendalam dengan lebih dari 50 narasumber dari berbagai latar belakang—termasuk mantan pejabat, akademisi, dan jurnalis.