Heboh Kabar Korban Tewas dalam Demo 25 Agustus 2025 di Depan Gedung DPR: Fakta atau Hoaks?

Heboh Kabar Korban Tewas dalam Demo 25 Agustus 2025 di Depan Gedung DPR: Fakta atau Hoaks?

tanda tanya-pixabay-

Heboh Kabar Korban Tewas dalam Demo 25 Agustus 2025 di Depan Gedung DPR: Fakta atau Hoaks?

Heboh di media sosial, terutama di platform TikTok, warganet dihebohkan oleh sebuah unggahan yang menyebutkan adanya korban meninggal dunia akibat kerusuhan dalam aksi demonstrasi besar-besaran di depan Gedung DPR RI pada 25 Agustus 2025. Unggahan tersebut memicu gelombang spekulasi, kekhawatiran, hingga perdebatan di kalangan netizen. Namun, sejauh mana kebenaran informasi tersebut? Benarkah ada korban tewas? Dan apakah benar korban tersebut seorang mahasiswa?



Dalam video yang beredar luas di TikTok, terlihat suasana kacau di depan Gedung DPR dengan asap tebal, suara tembakan gas air mata, dan kerumunan massa yang berlarian. Narasi dalam video itu menyebutkan bahwa seorang demonstran tewas di lokasi akibat bentrokan dengan aparat kepolisian. Unggahan tersebut diunggah oleh akun TikTok bernama @cctv.demo.indonesia dengan caption yang menyentuh emosi:
"Innalillahi, gak tega lihat korban kebenaran demi rakyat… korban meninggal di tempat akibat kerusuhan dengan pihak kepolisian. #demo2025"

Caption ini langsung memicu reaksi cepat dari warganet. Banyak yang membagikan ulang video tersebut dengan nada prihatin, sementara yang lainnya mempertanyakan keaslian konten dan menyerukan untuk tidak mudah terpancing emosi.

Aksi Demo 25 Agustus 2025: Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun dari sejumlah sumber media nasional, memang benar bahwa pada 25 Agustus 2025 terjadi aksi demonstrasi besar di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta. Ratusan hingga ribuan massa, didominasi oleh mahasiswa, aktivis, dan elemen masyarakat sipil, turun ke jalan menuntut transparansi anggaran negara, terutama terkait tunjangan dan fasilitas anggota legislatif.



Aksi ini digelar secara damai pada awalnya, namun situasi memanas ketika sekelompok massa mencoba menerobos barikade keamanan. Pihak kepolisian yang berjaga langsung merespons dengan penggunaan water cannon, gas air mata, dan pentungan untuk membubarkan massa. Meski terjadi kericuhan, tidak ada laporan resmi yang menyebutkan adanya korban jiwa.

Beberapa media mainstream seperti Kompas, Detik.com, dan Antara hanya melaporkan adanya korban luka ringan, seperti sesak napas akibat gas air mata dan memar akibat benturan. Tidak ada satupun pemberitaan yang menyebutkan adanya korban meninggal dunia.

Identitas Korban: Mana Buktinya?
Salah satu poin penting yang perlu dikaji dari unggahan viral tersebut adalah tidak adanya identitas jelas dari korban yang disebutkan. Akun @cctv.demo.indonesia tidak memberikan nama, foto wajah, atau dokumen pendukung seperti surat kematian, rekaman ambulans, atau pernyataan dari rumah sakit rujukan.

Selain itu, akun tersebut telah menonaktifkan kolom komentar, sehingga publik tidak bisa meminta klarifikasi atau menagih pertanggungjawaban atas isi konten. Ini menimbulkan kecurigaan bahwa konten tersebut sengaja dibuat untuk memicu emosi tanpa ruang diskusi yang sehat.

Tim verifikasi media menelusuri berbagai sumber, termasuk situs resmi kepolisian, rumah sakit terdekat seperti RSCM, dan kantor berita nasional. Hasilnya, nihil. Tidak ada catatan kejadian meninggalnya demonstran pada tanggal dan lokasi yang disebutkan.

Hoaks atau Konten Kreatif? Batas yang Semakin Tipis
Di era digital seperti sekarang, batas antara konten kreatif dan penyebaran hoaks semakin kabur. Banyak kreator media sosial menggunakan gaya jurnalistik—seperti narasi dramatis, musik latar tegang, dan efek visual—untuk membuat konten terasa lebih "nyata", padahal isinya fiktif.

Akun @cctv.demo.indonesia sendiri memiliki ciri khas seperti itu. Sejumlah unggahannya sebelumnya juga mengangkat isu-isu sosial-politik dengan gaya dokumenter, namun tanpa sumber yang dapat diverifikasi. Beberapa netizen bahkan menyebut bahwa akun tersebut adalah bagian dari "dunia fiksi aktivis digital" yang sengaja dibuat untuk menggambarkan situasi ideal atau kritik sosial, bukan laporan faktual.

Namun, masalahnya muncul ketika konten semacam ini dikonsumsi oleh masyarakat awam yang tidak menyadari bahwa itu hanyalah fiksi. Dalam banyak kasus, informasi seperti ini bisa memicu keresahan, provokasi, bahkan aksi balasan di dunia nyata.

Bahaya Penyebaran Hoaks: Bisa Kena UU ITE
Perlu digarisbawahi bahwa menyebarkan informasi yang tidak benar, terutama yang menimbulkan keresahan publik, bisa dikenai sanksi hukum. Berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 28 ayat (1), setiap orang yang menyebarluaskan berita bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat bisa diancam hukuman maksimal 6 tahun penjara dan denda hingga Rp1 miliar.

"Penyebaran hoaks, terlebih yang menyangkut isu kematian atau kekerasan, sangat berbahaya. Bisa memicu ketegangan sosial, kepanikan, bahkan konflik horizontal," tegas dr. Rudi Hartono, pakar komunikasi digital dari Universitas Indonesia.

Imbauan dari Pihak Berwenang
Kepolisian Republik Indonesia melalui Divisi Humas Polri telah mengimbau masyarakat untuk tidak mudah terpancing oleh informasi yang belum terverifikasi. "Kami terus memantau situasi keamanan dan tidak ada laporan korban jiwa dalam aksi demo 25 Agustus 2025. Mohon bijak menggunakan media sosial," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya dalam konferensi pers singkat.

Sementara itu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Kominfo juga terus memantau konten-konten yang berpotensi menyesatkan di platform digital. Beberapa akun yang dianggap menyebarkan hoaks telah dilaporkan untuk dilakukan pemantauan lebih lanjut.

Baca juga: Apa Akun IG dan TikTok Sintya Chilla? Sosok Janda Pemain Game yang Ngaku Hamil Anak DJ Panda, Siap Tes DNA dan Dipenjara

TAG:
Sumber:


Berita Lainnya