Verifikasi Dewan Pers Terkait Dugaan Penganiayaan dan Intimidasi Penulis Opini Detikcom

Verifikasi Dewan Pers Terkait Dugaan Penganiayaan dan Intimidasi Penulis Opini Detikcom

sekolah-pixabay-

Verifikasi Dewan Pers Terkait Dugaan Penganiayaan dan Intimidasi Penulis Opini Detikcom
Apa Tanggapan Dewan Pers Terkait Dugaan Penganiayaan dan Intimidasi Penulis Opini Detikcom?

Viral Dugaan Intimidasi terhadap Penulis Opini Detikcom, Islah Bahrawi: Membungkam Penulis Berarti Mematikan Pembaca



Geger di media sosial. Seorang penulis opini di portal berita detikcom, Yogi Firmansyah, dilaporkan mengalami dugaan intimidasi yang diduga berkaitan dengan tulisan-tulisannya. Kasus ini pun menarik perhatian banyak kalangan, termasuk akademisi dan pegiat kebebasan pers, Islah Bahrawi, yang menyampaikan kritik keras atas upaya pembungkaman terhadap penulis.

Menurut informasi yang beredar, salah satunya melalui cuitan dari akun Twitter @jhonsitorus_19, Yogi disebut mengalami dua insiden mencurigakan dalam waktu berdekatan. Insiden pertama terjadi saat ia sedang mengantarkan anaknya ke sekolah TK. Saat itu, Yogi dikabarkan diserempet oleh seorang pengendara motor tak dikenal yang memakai helm full face.

Kejadian kedua lebih menegangkan. Yogi sempat diikuti oleh dua orang yang berboncengan menggunakan motor berbeda. Keduanya juga menggunakan helm full face. Tanpa alasan jelas, salah satu dari mereka menendang Yogi hingga terjatuh dari motornya. Peristiwa ini tentu saja membuat Yogi merasa tidak aman dan khawatir akan keselamatannya.



Akibat kejadian-kejadian tersebut, Yogi kemudian mendatangi kantor detikcom dan meminta agar artikel opini yang ditulisnya ditarik atau dihapus. Ia juga melaporkan masalah ini ke Dewan Pers sebagai lembaga independen yang bertugas mengayomi dunia pers nasional.

Atas rekomendasi Dewan Pers, pihak detikcom akhirnya menurunkan artikel tersebut. Alasannya adalah demi menjaga keselamatan sang penulis. Meski langkah ini bisa dimaklumi sebagai bentuk antisipasi terhadap risiko yang lebih besar, tindakan ini juga memicu diskusi luas tentang batas-batas kebebasan berekspresi dan hak untuk bersuara di ruang publik.

Islah Bahrawi: Membungkam Penulis Adalah Mematikan Pembaca
Salah satu suara kritis yang muncul adalah dari Islah Bahrawi, seorang akademisi dan penulis yang sering menyuarakan isu-isu kebebasan pers dan demokrasi. Melalui unggahan di platform X (dulunya Twitter), Islah menyampaikan keprihatinannya atas kasus ini.

“Jika menulis dan membaca menjadi tabu, maka peradaban manusia akan mundur ke belakang,” tulisnya.

Ia menegaskan bahwa upaya membungkam suara para penulis sama artinya dengan mematikan antusiasme masyarakat untuk membaca dan berpikir kritis. Tanpa ada penulis yang berani menyuarakan pendapat, serta pembaca yang aktif menyerap informasi, maka ruh demokrasi akan semakin memudar.

“Jika ini terus terjadi, bersiaplah menjadi kaum primitif,” lanjut Islah dalam cuitannya.

Kalimat ini langsung menjadi viral karena dinilai cukup tajam dan mengandung peringatan serius. Ia lalu menyambungkan argumennya dengan catatan sejarah, di mana negara atau bangsa yang melakukan represi terhadap kebebasan berekspresi biasanya memiliki sistem kekuasaan yang otoriter dan brutal.

“Dalam sejarah, memang hanya bangsa primitif yang mengelola kekuasaan secara brutal. Klop!” pungkasnya.

Pernyataan Islah ini bukan hanya sekadar sindiran, tetapi juga sebuah refleksi penting tentang kondisi kebebasan pers di Indonesia saat ini. Di tengah maraknya pemberitaan dan opini yang mengkritik penguasa, upaya-upaya pembungkaman seperti ini harus diwaspadai agar tidak menjadi preseden buruk bagi masa depan demokrasi negeri.

Kasus Ini Jadi Cermin Kebebasan Pers yang Rentan Terintimidasi
Peristiwa yang dialami oleh Yogi Firmansyah mengingatkan kita bahwa profesi jurnalis, penulis opini, maupun aktivis masih rentan terhadap ancaman fisik dan psikologis. Meskipun Indonesia telah memiliki UU Pers No. 40 Tahun 1999 yang melindungi kebebasan pers, realitanya masih banyak pekerja media yang mengalami tekanan dari berbagai pihak.

Tidak selalu dalam bentuk kekerasan fisik, intimidasi bisa datang dalam bentuk gugatan hukum, pencemaran nama baik, hingga ancaman tidak langsung yang membuat seseorang merasa terancam dan memilih diam.

Dalam konteks ini, peran Dewan Pers menjadi sangat penting untuk memberikan perlindungan kepada wartawan dan penulis. Namun, dalam kasus ini, meskipun Dewan Pers memberikan rekomendasi untuk menarik artikel demi keselamatan penulis, langkah ini juga menimbulkan pertanyaan besar: apakah ini bentuk dari kemenangan kelompok yang ingin membungkam suara kritis?

Penulis Harus Dilindungi, Bukan Ditekan
Masyarakat sipil, organisasi pers, dan lembaga-lembaga HAM harus turun tangan untuk melindungi penulis, jurnalis, dan aktivis yang kerja mereka sangat vital dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas pemerintahan.

Kehadiran opini yang kritis adalah bagian dari ekosistem demokrasi yang sehat. Ketika penulis merasa takut untuk menulis karena ancaman fisik atau pembungkaman, maka yang hilang bukan hanya satu suara, tetapi ratusan bahkan ribuan suara yang tidak sempat lahir karena ketakutan kolektif.

Oleh karena itu, pemerintah dan aparat penegak hukum perlu bertindak cepat dan transparan dalam menangani kasus-kasus intimidasi terhadap penulis dan jurnalis. Investigasi yang profesional dan objektif akan menjadi pesan kuat bahwa siapa pun tidak boleh main hakim sendiri terhadap mereka yang menyuarakan pendapat.

Menuju Budaya Baca-Tulis yang Lebih Dewasa
Di tengah gempuran disinformasi dan polarisasi opini, penting kiranya masyarakat kembali pada prinsip dasar: bahwa beda pendapat adalah hal wajar, tetapi tidak boleh dibungkam dengan cara-cara kekerasan.

Sebaliknya, setiap opini yang dipublikasikan harus direspons dengan argumentasi, bukan ancaman. Inilah esensi dari budaya baca-tulis yang dewasa—di mana masyarakat tidak mudah tersinggung dengan tulisan, tetapi justru terpacu untuk berdialog, berdiskusi, dan berpikir kritis.

Seperti yang diingatkan oleh banyak tokoh, termasuk Pramoedya Ananta Toer, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak takut pada kebenaran. Dan kebenaran itu sering kali hadir melalui pena, bukan pedang.

Baca juga: Argo Ericko Achfandi Anaknya Siapa? Inilah Biodata Mahasiswa FH UGM yang Tewas Ditabrak Christiano Pengarapenta P, Pengemudi BMW Benarkah Bukan Orang Sembarangan?

TAG:
Sumber:


Berita Lainnya