Royalti Lagu di Tempat Usaha: Rp120 Ribu per Kursi per Tahun, Wajib atau Beban? Warganet Terbelah!

uang-pixabay-
Royalti Lagu di Tempat Usaha: Rp120 Ribu per Kursi per Tahun, Wajib atau Beban? Warganet Terbelah!
Polemik soal pembayaran royalti lagu untuk usaha komersial seperti kafe, restoran, hingga hotel kembali memanas di ruang publik. Baru-baru ini, unggahan dari musisi ternama Armand Maulana melalui sebuah thread di media sosial menjadi katalisator perdebatan hangat di kalangan pelaku usaha, seniman, hingga masyarakat umum. Dalam unggahannya, Armand mengingatkan bahwa pemilik usaha wajib membayar royalti sebesar Rp120 ribu per kursi per tahun jika ingin memutar lagu-lagu ciptaan musisi secara legal.
Angka ini, meski terdengar sederhana, justru memicu gelombang reaksi yang beragam—dari dukungan penuh hingga kritik tajam. Banyak yang langsung mempertanyakan keadilan, transparansi, dan kejelasan aturan yang sebenarnya sudah lama diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Apa Itu Royalti Lagu dan Siapa yang Wajib Bayar?
Royalti lagu adalah bentuk kompensasi finansial yang diberikan kepada pencipta, pemilik hak cipta, atau pihak yang berwenang atas penggunaan karya musik dalam konteks komersial. Dalam konteks usaha, memutar lagu di kafe, restoran, atau hotel dianggap sebagai penggunaan komersial, karena musik digunakan untuk menciptakan suasana yang menarik bagi pengunjung—yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan omzet.
Namun, tidak semua pemutaran musik dikenakan royalti. Penggunaan musik di rumah, acara keluarga, atau non-komersial tidak wajib bayar. Aturan ini justru dimaksudkan untuk melindungi hak ekonomi para musisi, terutama di tengah maraknya pelanggaran hak cipta secara diam-diam.
Rp120 Ribu per Kursi: Apakah Mahal atau Masuk Akal?
Angka Rp120 ribu per kursi per tahun memang menjadi sorotan utama. Sejumlah pelaku usaha, terutama UMKM, langsung mengeluhkan besaran biaya ini. "Kalau kafe saya punya 50 kursi, artinya harus bayar Rp6 juta per tahun? Belum termasuk listrik, bahan baku, dan gaji karyawan," keluh seorang pemilik kafe di Bandung.
Perhitungan warganet pun bermunculan. Ada yang menafsirkan bahwa biaya ini dihitung per lagu, sehingga jika memutar 10 lagu berbeda, totalnya bisa mencapai puluhan juta. Namun, klarifikasi dari pihak yang memahami regulasi menyebutkan bahwa Rp120 ribu per kursi sudah mencakup semua lagu yang diputar sepanjang tahun—bukan per judul lagu. Artinya, pemilik usaha membayar satu kali untuk akses ke seluruh katalog musik yang dilindungi oleh lembaga pengelola hak cipta.
Respons Musisi: Dari Apresiasi hingga Kepedulian
Di sisi lain, banyak musisi, terutama yang berada di bawah naungan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), menyambut baik aturan ini. Bagi mereka, royalti adalah bentuk pengakuan atas kerja keras menciptakan karya. "Kami butuh penghasilan yang layak. Lagu kami diputar di mana-mana, tapi sering kali tanpa izin dan tanpa bayaran," ujar seorang musisi indie asal Yogyakarta.
Namun, ironisnya, beberapa musisi justru menyayangkan sikap pelaku usaha yang terlalu takut membayar royalti hingga memilih tidak memutar lagu lokal sama sekali. "Ironis, kami ingin lagu kami didengar, tapi malah dihindari karena takut bayar. Padahal, ini bisa jadi media promosi alami," tambahnya.
Beberapa pelaku industri musik menilai bahwa sosialisasi yang kurang efektif dari pihak berwenang menjadi akar masalah. Banyak pelaku usaha yang tidak tahu prosedur pembayaran, besaran tarif, atau bahkan lembaga mana yang harus dihubungi.
Celuk Hukum dan Solusi Kreatif: Dari Suara Alam hingga Live Band yang Dibatasi
Menghadapi tekanan biaya dan ketidakpastian hukum, sejumlah pelaku usaha mulai mencari jalan pintas. Ada yang memilih memutar musik alam seperti suara ombak, angin, atau burung—yang dianggap tidak dilindungi hak cipta. Beberapa kafe bahkan beralih ke lagu instrumental klasik atau musik tanpa vokal yang dianggap "aman".
Di Bali, sempat viral kasus seorang direktur outlet Mie Gacoan yang ditetapkan sebagai tersangka karena memutar lagu tanpa izin. Kasus ini menjadi pelajaran penting sekaligus alarm keras bagi pelaku usaha lainnya.
Uniknya, sebuah hotel di Kuningan, Jawa Barat, dikabarkan melarang band-nya membawakan lagu Dewa 19—padahal lagu-lagu tersebut sangat populer—karena khawatir terkena sanksi royalti. "Kami lebih memilih lagu bebas hak cipta atau lagu buatan sendiri," ujar manajer hotel tersebut.
Platform Streaming Bukan Solusi Instan
Banyak yang beranggapan bahwa dengan berlangganan Spotify Premium atau Apple Music, mereka bisa bebas memutar musik di tempat usaha. Sayangnya, ini adalah kesalahpahaman besar. Lisensi pribadi dari platform streaming tidak berlaku untuk penggunaan komersial. Untuk itu, pelaku usaha tetap harus membayar lisensi terpisah melalui lembaga resmi seperti LMKN atau pihak ketiga yang bekerja sama dengan pencipta lagu.
Beberapa platform khusus memang menyediakan layanan background music untuk bisnis, seperti Soundtrack Your Brand (bermitra dengan Spotify for Business), yang menawarkan solusi legal dengan harga terjangkau. Namun, adopsinya di Indonesia masih sangat terbatas.
Perbandingan dengan Negara Lain: Apakah Indonesia Terlalu Keras?
Warganet juga membandingkan kebijakan royalti di Indonesia dengan negara lain. Di Korea Selatan, misalnya, usaha dengan luas di bawah 50 meter persegi dibebaskan dari kewajiban royalti. Di Jepang, sistemnya lebih transparan dengan tarif berjenjang berdasarkan ukuran tempat usaha dan frekuensi pemutaran musik.
"Kenapa di Indonesia tidak ada keringanan untuk UMKM? Harusnya ada kategori khusus," komentar seorang pengguna Twitter. Banyak yang menilai bahwa regulasi di Indonesia masih terlalu kaku dan kurang memperhatikan kondisi ekonomi pelaku usaha mikro dan kecil.
Pakar Hukum: Ini Sudah Sesuai UU, Tapi Butuh Sosialisasi Lebih Baik
Menurut Dr. Rizky Adhitya, pakar hukum hak cipta dari Universitas Indonesia, aturan royalti ini sudah sangat jelas secara hukum. "UU Hak Cipta mengatur bahwa penggunaan karya untuk tujuan komersial harus mendapatkan izin dan membayar royalti. Ini bentuk perlindungan terhadap hak ekonomi pencipta."
Namun, ia mengakui bahwa implementasi dan edukasi publik masih sangat lemah. "Pemerintah, LMKN, dan pelaku industri harus duduk bersama untuk membuat panduan yang mudah dipahami, transparan, dan adil bagi semua pihak."
Solusi Berkelanjutan: Kolaborasi, Bukan Konfrontasi
Alih-alih saling menyalahkan, banyak pihak menyerukan pendekatan kolaboratif. Beberapa usulan muncul, seperti: