Heboh! Keenan Avalokita Kirana Putra Dee Lestari Juara Kontes Performative Male, Netizen Geger Usai Temukan Cuitan Rasis di Masa Lalu

Keenan-Instagram-
Heboh! Keenan Avalokita Kirana Putra Dee Lestari Juara Kontes Performative Male, Netizen Geger Usai Temukan Cuitan Rasis di Masa Lalu
Sebuah peristiwa yang awalnya terasa lucu dan penuh canda berubah menjadi sorotan publik setelah kemenangan Kinara, putra penulis ternama Dee Lestari, dalam ajang Performative Male Contest di Taman Langsat, Jakarta Selatan, pada Sabtu, 2 Agustus 2025. Awalnya, kontes ini digelar sebagai bentuk satire terhadap stereotip tertentu tentang laki-laki urban modern, namun kemenangan Kinara justru membuka celah diskusi yang lebih dalam—mulai dari isu rasisme hingga ironi sosial di kalangan generasi muda urban.
Ajang Performative Male Contest digagas oleh akun Twitter @alergikiwi, yang dikenal aktif menyuarakan kritik sosial dengan gaya satir khas anak muda kota. Poster acara yang diunggah pada 29 Juli 2025 langsung viral, dengan lebih dari 1,7 juta kali dilihat dan ribuan interaksi. Dalam cuitannya, @alergikiwi menawarkan hadiah menarik: Rp300.000 dan satu liter matcha gratis bagi peserta terbaik yang bisa meniru gaya hidup “laki-laki performatif”.
“GUYSSS siapa mau dapet 300K dan free matcha 1 liter? Ikutan yuk performative male contest Sabtu ini,” tulisnya, disertai gambar poster kontes yang penuh estetika ala komunitas urban Jakarta.
Apa Itu “Performative Male”?
Istilah performative male sendiri merujuk pada fenomena sosial di mana seorang laki-laki tampil dengan ciri-ciri yang dianggap "intelek" atau "progresif" secara permukaan—seperti gemar membaca buku filsafat, memakai kacamata klasik, membawa tote bag kanvas, menggunakan earphone kabel, memiliki kamera digital (digicam), dan tentu saja, menyukai minuman matcha—namun dinilai hanya untuk pencitraan, terutama di hadapan perempuan.
Kontes ini sejatinya adalah bentuk sindiran terhadap laki-laki yang dinilai hanya "bermain peran" sebagai sosok yang peduli, progresif, dan berwawasan luas, tanpa benar-benar menghayati nilai-nilai di balik gaya hidup tersebut. Dalam konteks ini, performative bukan pujian, melainkan kritik terhadap kepalsuan identitas sosial.
Namun, siapa sangka, pemenang kontes justru memicu kontroversi yang jauh melampaui maksud awal penyelenggara.
Kemenangan yang Jadi Bumerang
Kinara, putra dari penulis fenomenal Dee Lestari, berhasil menyabet gelar juara dalam kontes tersebut. Penampilannya yang sesuai dengan kriteria—dari gaya berpakaian hingga aksesori yang digunakan—membuatnya dinilai sebagai "perwujudan sempurna" dari karakter performative male. Foto kemenangannya pun beredar luas di media sosial, termasuk diunggah oleh akun @Ica_didindin9 dengan komentar sinis:
“Anak Dee Lestari jadi pemenang Performative Male Competition bukan dalam daftar keinginan aku di 2025.”
Cuitan itu langsung viral. Namun, yang seharusnya menjadi bahan candaan, berubah menjadi sorotan tajam setelah netizen mulai menggali jejak digital Kinara di Twitter.
Jejak Digital yang Mencemaskan
Dalam hitungan jam, tangkapan layar cuitan-cuitan lama Kinara mulai menyebar. Salah satunya adalah cuitan dari Juni 2024, di mana ia menyebut gerakan Black Lives Matter (BLM) sebagai "penipuan massal". Dalam cuitannya, ia menulis:
“Black Lives Matter adalah dan selalu sebuah penipuan. Uangnya masuk ke rekening pendirinya untuk beli rumah.”
Cuitan ini langsung memicu kemarahan netizen, terutama dari kalangan aktivis sosial dan pendukung gerakan antirasisme. Banyak yang menilai pernyataan tersebut tidak hanya keliru secara fakta, tetapi juga menunjukkan ketidaktahuan dan sikap rasis yang membahayakan.
Tidak hanya itu, jejak digital Kinara juga menunjukkan ia pernah me-retweet sejumlah konten bernada rasis terhadap orang kulit hitam, termasuk meme yang mengolok-olok budaya Afrika-Amerika dan stereotip rasis yang sudah lama dikritik secara global.
Netizen Terbelah: Antara Sindiran dan Kritik
Reaksi publik pun terbelah. Sebagian besar netizen merasa ironis dan kecewa. Bagaimana mungkin seseorang yang seharusnya menjadi bahan sindiran justru memenangkan kontes yang bertujuan menyindir?
“Jadi, dia menang karena aslinya memang performatif. Kecewa,” tulis @Ica_didindin9, menambahkan bahwa ironi terbesar adalah bahwa Kinara bukan sekadar "berakting", melainkan benar-benar mewujudkan sifat yang seharusnya dikritik.
Sementara itu, akun @kangseultan menekankan bahwa kontes ini sejatinya hanya bentuk ekspresi kreatif dan satire. “Ini harusnya cuma cosplay dan pernyataan berlebihan dari istilah performative male itu sendiri,” katanya, menekankan bahwa tujuan awal acara bukan untuk mempromosikan nilai-nilai yang rasis atau diskriminatif.
Namun, banyak pihak menilai bahwa kemenangan Kinara justru membuka mata publik tentang bagaimana stereotip "laki-laki urban intelek" bisa menyembunyikan sikap yang justru bertentangan dengan nilai-nilai inklusivitas dan keberagaman.
Dampak terhadap Citra Publik
Insiden ini juga membawa konsekuensi tersendiri bagi citra keluarga Dee Lestari, yang selama ini dikenal sebagai sosok intelektual, humanis, dan vokal dalam isu-isu sosial. Meskipun belum ada pernyataan resmi dari Dee Lestari atau keluarganya, banyak netizen yang menyoroti pentingnya edukasi di lingkungan rumah, terutama dalam membentuk kesadaran sosial anak muda terhadap isu global seperti rasisme dan keadilan sosial.
Beberapa komentar juga mempertanyakan apakah keikutsertaan Kinara dalam kontes ini memang sekadar untuk bercanda, atau justru mencerminkan identitas pribadinya yang sebenarnya. “Kalau dia benar-benar percaya pada cuitan rasis itu, artinya dia bukan cuma performatif—dia problematik,” ujar salah satu netizen.
Refleksi atas Budaya Sosial Media
Kasus ini juga menjadi cermin dari dinamika sosial media masa kini, di mana identitas seseorang bisa dibentuk, dikonsumsi, dan dikritik dalam hitungan jam. Satire yang seharusnya menjadi alat kritik sosial bisa berbalik menjadi alat eksploitasi jika tidak diimbangi dengan kesadaran akan konteks dan nilai yang terlibat.
Di tengah arus budaya aesthetic urban yang kerap mengagungkan gaya hidup tertentu, kasus Kinara mengingatkan kita bahwa penampilan luar—sebuah tote bag, kacamata klasik, atau secangkir matcha—tidak serta-merta mencerminkan kedalaman moral seseorang.
Baca juga: Royalti Lagu di Tempat Usaha: Rp120 Ribu per Kursi per Tahun, Wajib atau Beban? Warganet Terbelah!