Film Animasi Merah Putih One For All Viral, Menuai Kontroversi hingga Banjir Kritik Jelang Tayang di Bioskop

Merah putih-Instagram-
Film Animasi Merah Putih One For All Viral, Menuai Kontroversi hingga Banjir Kritik Jelang Tayang di Bioskop
Baru-baru ini, jagat media sosial dihebohkan oleh rencana tayangnya sebuah film animasi anak berjudul Merah Putih One For All yang dipersiapkan untuk menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia. Film yang digarap oleh Persatuan Pengusaha Film Keliling Indonesia (PERFIKI) ini sempat menjadi sorotan luas setelah promosinya viral di platform digital, terutama di X (sebelumnya Twitter), pada Jumat, 8 Agustus 2025. Namun, alih-alih mendapat sambutan hangat, film ini justru menuai kritik pedas dari publik karena dinilai berkualitas rendah dan tidak layak tayang di bioskop komersial.
Rencana pemutaran perdana Merah Putih One For All yang dijadwalkan mulai 14 Agustus 2025 di sejumlah bioskop nasional seketika memicu perdebatan sengit di kalangan masyarakat, khususnya para pecinta film dan animator lokal. Banyak yang mempertanyakan standar kualitas produksi, narasi, hingga teknis visual dari film animasi yang digadang-gadang sebagai "film animasi anak Indonesia pertama bertema kebangsaan" ini.
Cerita Sederhana, Tapi Eksekusi Dipertanyakan
Dari sinopsis yang dirilis, Merah Putih One For All mengisahkan petualangan sekelompok anak-anak yang kehilangan bendera merah putih menjelang perayaan 17 Agustus. Mereka pun berusaha mencari kembali bendera tersebut agar bisa dikibarkan dalam upacara kemerdekaan. Meski tema nasionalisme dan semangat kebangsaan yang diusung terdengar mulia, eksekusi cerita dalam trailer yang beredar dinilai terlalu datar, klise, dan minim kedalaman emosional.
Banyak penonton yang merasa bahwa narasi film terasa dipaksakan dan terlalu menggurui, tanpa menyentuh hati atau memberi pesan yang menginspirasi. "Ceritanya terlalu linear dan terasa seperti iklan layanan masyarakat, bukan film layar lebar," komentar salah satu warganet di media sosial.
Kualitas Animasi Dipandang 'Asal-asalan'
Salah satu aspek yang paling banyak dikritik adalah kualitas animasi yang ditampilkan. Dalam cuplikan yang beredar, gerakan karakter terlihat kaku, ekspresi wajah minim, dan latar belakang yang terkesan statis dan tidak hidup. Grafis yang digunakan pun dinilai jauh dari standar bioskop modern, bahkan dianggap lebih rendah dari animasi edukatif yang biasa tayang di kanal YouTube anak-anak.
"Tontonan seperti ini bahkan tidak layak jadi konten edukatif di sekolah dasar, apalagi masuk bioskop dan harus bayar," ujar seorang animator muda yang enggan disebutkan namanya. Ia menambahkan bahwa kualitas animasi yang digunakan terlihat seperti hasil rendering cepat tanpa proses editing yang matang.
Tidak hanya itu, banyak spekulasi yang muncul bahwa suara karakter dalam film ini bukan berasal dari pengisi suara profesional, melainkan hasil dari teknologi Artificial Intelligence (AI). Hal ini diperkuat dengan intonasi suara yang monoton, pengucapan yang kaku, dan ketidaksesuaian antara gerak bibir dengan dialog. Jika benar demikian, ini akan menjadi sorotan serius, mengingat penggunaan AI dalam produksi film tanpa pengungkapan transparan bisa menimbulkan isu etis.
Pro dan Kontra: Nasionalisme atau Proyek 'Pencitraan'?
Di tengah hujan kritik, muncul pula pertanyaan besar dari publik: Apakah film ini sebenarnya merupakan proyek 'pencitraan' atau bahkan bentuk penyelamatan dana yang dikaitkan dengan isu korupsi? Meski belum ada bukti konkret, banyak warganet yang mencurigai bahwa film ini bisa jadi bagian dari program yang dibiayai oleh anggaran publik, sehingga bisa masuk bioskop meskipun kualitasnya diragukan.
Namun, tidak semua pihak sepakat dengan anggapan tersebut. Seorang netizen menyebut bahwa dari poster film yang beredar, hanya dua entitas yang tercantum: PERFIKI dan sebuah yayasan swasta. "Tidak ada logo instansi pemerintah, jadi belum tentu ini proyek negara. Tapi tetap, kalau ini film independen, kenapa harus dipaksa masuk bioskop dengan harga tiket mahal?" tanyanya retoris.
PERFIKI Angkat Bicara
Di tengah kontroversi, PERFIKI selaku produser film akhirnya memberikan klarifikasi singkat melalui siaran pers. Mereka menegaskan bahwa Merah Putih One For All merupakan bentuk komitmen organisasi dalam mendukung industri film animasi nasional, khususnya yang bernuansa edukatif dan patriotik. "Kami ingin memberi ruang bagi anak-anak Indonesia untuk belajar cinta tanah air melalui media yang menyenangkan," ujar perwakilan PERFIKI.
Namun, mereka juga mengakui bahwa produksi film ini dilakukan dengan anggaran terbatas dan tim yang minim pengalaman di industri animasi besar. "Kami tahu ini bukan karya sempurna, tapi ini langkah awal. Kami harap masyarakat bisa melihat niat baik di balik film ini," tambahnya.
Respons Masyarakat: Antara Kepedulian dan Kecaman
Respons masyarakat terhadap film ini sangat beragam. Di satu sisi, ada yang memberi dukungan moral, mengingat upaya PERFIKI untuk memproduksi film animasi lokal meski dengan keterbatasan. "Setiap perjalanan besar dimulai dari langkah kecil. Mungkin film ini belum sempurna, tapi setidaknya ada yang berani mencoba," tulis seorang pengguna Instagram.
Namun, mayoritas justru menilai bahwa standar industri film tidak boleh dikorbankan hanya karena niat baik. "Kasihan anak-anak yang diajak ke bioskop, bayar mahal, tapi disuguhi animasi yang lebih buruk dari kartun YouTube," komentar seorang orang tua di forum diskusi film.
Harapan untuk Industri Animasi Indonesia
Kasus Merah Putih One For All menjadi cerminan kompleksnya dunia perfilman Indonesia, khususnya animasi. Di satu sisi, ada potensi besar dari segi kreativitas dan keinginan untuk menyampaikan nilai-nilai nasionalisme. Di sisi lain, kualitas teknis, manajemen produksi, dan standar distribusi masih menjadi tantangan besar.
Banyak pihak berharap, ke depannya, film-film bertema kebangsaan bisa digarap dengan lebih serius, melibatkan tim profesional, dan tidak hanya sekadar memanfaatkan momentum perayaan kemerdekaan. "Kita butuh film yang bisa membuat anak-anak bangga jadi Indonesia, bukan sekadar diomeli lewat narasi klise," ujar seorang penulis skenario anak.