Viral Struk Kafe Tagih Royalti Musik Rp29 Ribu, Netizen Geram: Bukan Niat Bayar Royalti, Cuma Mau Ngopi!

Viral Struk Kafe Tagih Royalti Musik Rp29 Ribu, Netizen Geram: Bukan Niat Bayar Royalti, Cuma Mau Ngopi!

restoran-pixabay-

Viral Struk Kafe Tagih Royalti Musik Rp29 Ribu, Netizen Geram: Bukan Niat Bayar Royalti, Cuma Mau Ngopi!

Baru-baru ini, jagat media sosial dihebohkan oleh sebuah struk pembayaran dari sebuah kafe yang mencantumkan biaya "royalti musik" sebesar Rp29.140. Bukti tagihan ini diunggah oleh akun TikTok @nukamarikopi dan langsung menjadi viral, memicu perdebatan luas di kalangan netizen. Banyak yang merasa kaget, heran, bahkan marah karena merasa dipaksa membayar royalti musik yang seharusnya menjadi tanggung jawab pengelola tempat usaha, bukan konsumen.



Dalam struk tersebut, terlihat jelas rincian pembayaran yang mencakup harga minuman dan makanan, lalu disertai dengan baris tambahan berlabel "Royalti Musik & Lagu" sebesar Rp29.140. Belum diketahui secara pasti di mana lokasi kafe tersebut berada, namun fakta bahwa biaya tersebut ditagihkan langsung ke pelanggan menuai banyak kecaman dari publik. Banyak yang menilai bahwa ini adalah bentuk pembebanan yang tidak adil dan tidak masuk akal.

Netizen Bereaksi: "Saya Bayar Kopi, Bukan Royalti!"
Respons netizen pun beragam, namun mayoritas menunjukkan ketidaksetujuan terhadap praktik ini. Di kolom komentar unggahan tersebut, berbagai komentar kritis bermunculan. Salah satu netizen dengan username @on*** menulis, "Lah kok dibebankan ke konsumen? Saya bayar minuman, bukan bayar royalti musik!".

Sementara itu, akun @reat*** menyampaikan keluhan yang lebih tajam: "Akan saya tolak bayar royalti kalau di kafe, karena saya niat ngopi, bukan dengar musik. Justru saya akan tuntut royalti musiknya yang harus bayar saya, karena saya dipaksa untuk dengarkan musik itu, padahal saya tidak minta musik itu diputar!".



Pernyataan ini menggambarkan perasaan sebagian besar konsumen yang merasa bahwa musik di kafe adalah bagian dari atmosfer yang disediakan pengelola untuk menarik pelanggan, bukan layanan tambahan yang harus dibayar secara terpisah. "Pemaksaan itu namanya kalau dimasukkan ke dalam bill," tambah @sipe***, menegaskan bahwa memasukkan biaya royalti ke tagihan pelanggan adalah bentuk ketidaktransparanan dan eksploitasi.

Apa Itu Royalti Musik di Tempat Umum?
Sebelumnya, isu royalti musik di tempat komersial seperti kafe, restoran, atau tempat hiburan memang sudah lama menjadi perbincangan hangat. Secara hukum, setiap tempat yang memutar musik secara komersial — baik sebagai latar belakang maupun hiburan utama — wajib membayar royalti kepada pemilik hak cipta. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Royalti ini biasanya dibayarkan oleh pengelola usaha kepada Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), seperti Sentra Lisensi Musik Indonesia (Selmi), yang bertugas mengelola dan mendistribusikan pembayaran kepada pencipta, musisi, atau pemegang hak cipta lagu. Biaya ini bukan untuk satu lagu tertentu, melainkan berupa blanket license (lisensi menyeluruh) yang mencakup ribuan karya musik dalam satu paket berlangganan.

Namun, yang menjadi sorotan publik adalah: mengapa biaya ini justru dibebankan langsung ke konsumen? Padahal, secara prinsip, royalti musik adalah bagian dari biaya operasional usaha, seperti listrik, air, atau sewa tempat. Bukan sesuatu yang harus ditagih terpisah dari harga produk.

Kasus Mie Gacoan Bali Jadi Pemicu Awal
Isu ini sebenarnya bukan kali pertama mencuat. Sebelumnya, gerai Mie Gacoan di Bali sempat menjadi sorotan setelah dilaporkan oleh Selmi karena dianggap melanggar hak cipta akibat pemutaran musik tanpa izin. Pihak Selmi menyatakan bahwa Mie Gacoan tidak memiliki lisensi untuk memutar musik secara komersial, sehingga dianggap melanggar UU Hak Cipta.

Namun, alih-alih menyelesaikan masalah secara internal, kasus ini justru memicu diskusi luas tentang bagaimana praktik royalti musik seharusnya diterapkan. Banyak yang mempertanyakan apakah tempat usaha lainnya juga membayar lisensi, dan jika ya, mengapa baru sekarang isu ini mencuat? Di sisi lain, ada juga yang mempertanyakan transparansi dan akuntabilitas lembaga seperti Selmi dalam mengelola dana royalti.

Respons Pelaku Usaha dan Dampaknya terhadap Konsumen
Bagi pelaku usaha, terutama UMKM di bidang kuliner dan kafe, biaya lisensi musik bisa menjadi beban tambahan. Di satu sisi, mereka ingin menciptakan suasana yang nyaman dengan latar musik yang menarik. Di sisi lain, biaya royalti bisa mencapai jutaan rupiah per tahun, tergantung skala usaha dan durasi pemutaran musik.

Namun, alih-alih menanggung sendiri biaya tersebut, beberapa pelaku usaha memilih cara yang kontroversial: membebankannya langsung ke konsumen. Padahal, langkah ini justru berisiko merusak kepercayaan pelanggan dan menciptakan citra negatif terhadap merek.

Seorang pemilik kafe di Jakarta yang enggan disebutkan namanya mengaku bahwa pihaknya memang membayar lisensi musik, tapi tidak pernah mencantumkannya secara terpisah di struk. "Kami anggap itu bagian dari biaya operasional. Pelanggan bayar untuk kopi dan suasana, termasuk musik. Tapi kalau disebutkan eksplisit di struk, pasti akan bikin orang merasa ditipu," ujarnya.

Pakar Hukum: Royalti Bukan Tanggung Jawab Konsumen
Menanggapi fenomena ini, pakar hukum hak kekayaan intelektual dari Universitas Indonesia, Dr. Rizki Amalia, SH., MH., menegaskan bahwa konsumen tidak memiliki kewajiban hukum untuk membayar royalti musik. "Yang bertanggung jawab secara hukum adalah pemilik tempat usaha yang memanfaatkan musik untuk keuntungan komersial. Mereka wajib membayar lisensi, bukan pelanggan," jelasnya.

Ia menambahkan bahwa mencantumkan biaya royalti secara terpisah di struk pembayaran bisa dikategorikan sebagai praktik tidak transparan, bahkan berpotensi menyesatkan konsumen. "Ini bisa melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen jika tidak dijelaskan sejak awal. Konsumen berhak mengetahui apa yang mereka bayar, tapi tidak seharusnya dipaksa menanggung kewajiban hukum pengusaha," tegas Rizki.

Solusi yang Lebih Adil: Transparansi dan Edukasi
Untuk menghindari kesalahpahaman di masa depan, diperlukan pendekatan yang lebih bijak dari semua pihak. Pertama, pelaku usaha perlu lebih transparan tentang biaya operasional, termasuk royalti musik, tanpa harus membebankannya secara eksplisit ke pelanggan. Kedua, lembaga seperti Selmi perlu meningkatkan edukasi publik tentang pentingnya royalti musik, bukan hanya mengejar pelanggaran hukum.

"Musik adalah bagian dari budaya dan ekosistem kreatif. Kalau pencipta tidak dibayar, maka akan semakin sedikit karya baru yang lahir. Tapi, cara pengumpulannya harus adil dan tidak memberatkan konsumen akhir," kata Rizki.

Baca juga: Daftar Acara TV Hari ini 11 Agustus 2025 di Metro TV, SCTV, TVONE, NET TV, Indosiar, TRANS 7, TRANS TV dan RCTI Ada Film Bioskop, Sinetron, Kuis dan Mega Bollywood Plus Link

TAG:
Sumber:


Berita Lainnya