Tompi Resmi Mundur dari WAMI, Buka Suara soal Transparansi Royalti Musik dan Izinkan Lagunya Dinyanyikan Gratis

Tompi Resmi Mundur dari WAMI, Buka Suara soal Transparansi Royalti Musik dan Izinkan Lagunya Dinyanyikan Gratis

Tompi-Instagram-

Tompi Resmi Mundur dari WAMI, Buka Suara soal Transparansi Royalti Musik dan Izinkan Lagunya Dinyanyikan Gratis

Kabar mengejutkan datang dari dunia musik Tanah Air. Penyanyi sekaligus dokter bedah plastik ternama, Tompi, secara resmi mengumumkan pengunduran dirinya dari keanggotaan World Copyright Alliance Music Indonesia (WAMI). Pengumuman ini disampaikan langsung melalui unggahan di akun Instagram pribadinya, @dr_tompi, pada Selasa, 12 Agustus 2025, dan langsung mencuri perhatian publik serta para pelaku industri musik.



Dalam keterangannya, Tompi menyatakan bahwa dirinya telah resmi keluar dari WAMI sejak Senin, 11 Agustus 2025. Keputusan ini bukan diambil secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari refleksi panjang dan kekecewaan mendalam terhadap sistem pengelolaan hak cipta dan pembagian royalti yang dinilainya masih jauh dari transparan.

Tompi Buka Akses Lagu untuk Umum, Tanpa Royalti
Yang mengejutkan, sebagai bentuk protes dan kekecewaan terhadap sistem yang ada, Tompi memutuskan untuk membuka akses bebas terhadap seluruh katalog lagunya. Ia secara terbuka mempersilakan siapa pun—mulai dari penyanyi jalanan, musisi kafe, hingga artis besar—untuk membawakan lagu-lagunya di berbagai panggung pertunjukan tanpa perlu membayar royalti.

“Silakan yang mau menyanyikan lagu-lagu saya di semua panggung-panggung pertunjukan, konser, kafe, atau acara apa pun. Mainkan saja. Saya nggak akan ngutip apapun. Sampai ada pengumuman selanjutnya,” tulis Tompi dengan nada tegas namun santai.



Pernyataan ini tentu menjadi angin segar bagi para musisi dan penyelenggara acara yang selama ini dibebani biaya lisensi dan royalti saat membawakan lagu-lagu dari artis yang tergabung dalam WAMI. Namun di balik sikap yang terkesan santai, tersirat kritik tajam terhadap sistem pengelolaan hak cipta musik di Indonesia.

Kekecewaan Terhadap Transparansi Penghitungan Royalti
Tompi mengungkapkan bahwa keputusannya untuk keluar dari WAMI tidak lepas dari ketidakpuasan terhadap transparansi dan akuntabilitas dalam penghitungan dan pembagian royalti. Ia mengaku pernah berdiskusi dengan sesama musisi, termasuk Glenn Fredly (alm), mengenai bagaimana Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) seperti WAMI mengelola uang royalti dari para pengguna musik.

Namun, menurut Tompi, jawaban yang diberikan oleh pihak-pihak terkait masih kabur dan tidak masuk akal. “Belum pernah puas dan jelas dengan jawaban dari semua yang pernah saya tanyai: ‘EMANG NGITUNGANYA GIMANA? Ngebaginya atas dasar apa!???’ Aaa iii uuu eee oooo. Jawaban yang gak masuk akal sehat saya. Dan semakin ke sini kok semakin kisruh ajaa,” ungkapnya dengan nada frustrasi.

Tompi juga menyampaikan kekhawatirannya terhadap sistem yang dinilainya tidak adil dan tidak transparan. Ia menekankan bahwa sebagai pencipta lagu dan pelaku seni, ia berhak mengetahui secara rinci bagaimana royalti dari karya-karyanya dihitung, dikumpulkan, dan didistribusikan.

Fenomena yang Tidak Berdiri Sendiri
Keputusan Tompi bukanlah kasus pertama yang mengguncang dunia musik Indonesia terkait isu royalti. Sebelumnya, penyanyi legendaris Ari Lasso juga pernah membuka suara tentang persoalan serupa. Ia mempertanyakan besaran royalti yang diterimanya, yang hanya berkisar Rp700 ribu, padahal menurut data yang ia dapat, lagu-lagunya telah diputar puluhan juta kali di berbagai platform digital dan radio.

Meski WAMI telah mengirimkan surat resmi sebagai respons, Ari Lasso tetap menuntut penjelasan lebih rinci mengenai metode penghitungan royalti. Ia menyoroti ketidaksesuaian antara jumlah pemutaran lagu dan besaran royalti yang diterima oleh pencipta lagu.

“Saya punya data bahwa lagu saya diputar lebih dari 50 juta kali, tapi royalti yang masuk ke rekening cuma Rp700 ribu. Itu nggak masuk akal. Di mana sisanya?” tegas Ari Lasso dalam wawancara sebelumnya.

Dampak Terhadap Industri Musik Nasional
Langkah Tompi ini diperkirakan akan memicu gelombang diskusi lebih luas tentang masa depan sistem hak cipta musik di Indonesia. Banyak pihak mulai mempertanyakan efektivitas dan integritas LMK yang bertugas mengelola royalti untuk kepentingan pencipta, pelaku seni, dan pemegang hak cipta.

Pengamat musik, Rangga Purbaya, menilai bahwa fenomena ini mencerminkan krisis kepercayaan terhadap lembaga pengelola hak cipta. “Ini bukan sekadar soal uang, tapi soal keadilan dan pengakuan terhadap karya seni. Jika sistem tidak transparan, maka musisi akan kehilangan motivasi untuk berkarya,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa Indonesia membutuhkan reformasi menyeluruh dalam sistem manajemen hak cipta, termasuk penerapan teknologi digital untuk melacak pemutaran lagu secara real-time, serta audit independen terhadap LMK.

Apa Itu WAMI dan Perannya?
World Copyright Alliance Music Indonesia (WAMI) merupakan salah satu lembaga manajemen kolektif (LMK) yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mengelola hak cipta musik secara kolektif. Tugas utamanya adalah mengumpulkan royalti dari penggunaan lagu—seperti di radio, TV, kafe, konser, dan platform digital—lalu mendistribusikannya kepada pencipta, penulis lagu, dan pemegang hak cipta.

Namun, sejak awal keberadaannya, WAMI kerap dikritik karena minimnya transparansi, lambatnya distribusi royalti, serta ketidakjelasan metode perhitungan. Banyak musisi merasa sistem ini lebih menguntungkan pengelola daripada pencipta karya.

Tanggapan WAMI Belum Terdengar
Hingga berita ini diturunkan, pihak WAMI belum memberikan pernyataan resmi terkait pengunduran diri Tompi. Namun, sejumlah sumber internal menyebutkan bahwa pihak WAMI sedang mempersiapkan klarifikasi terkait sistem pengelolaan royalti dan rencana perbaikan ke depan.

Beberapa pihak mendesak WAMI untuk membuka data audit tahunan dan mempublikasikan mekanisme distribusi royalti secara terbuka, agar kepercayaan dari para musisi dan masyarakat bisa dipulihkan.

TAG:
Sumber:


Berita Lainnya