Bupati Lucky Hakim Luncurkan Inovasi Ramah Lingkungan: Perang Hama Tikus Pakai Pasukan Ular dan Burung Hantu, Warganet Heboh!

Lucky-Instagram-
Bupati Lucky Hakim Luncurkan Inovasi Ramah Lingkungan: Perang Hama Tikus Pakai Pasukan Ular dan Burung Hantu, Warganet Heboh!
Indramayu kembali menjadi sorotan nasional, bukan karena konflik agraria atau persoalan banjir, melainkan karena inovasi unik yang dilancarkan oleh Bupatinya, Lucky Hakim. Dalam upaya mengatasi serangan hama tikus yang selama ini merugikan petani, sang bupati mengambil langkah yang tak biasa: memanfaatkan predator alami seperti ular dan burung hantu sebagai garda depan dalam perang ekologis di lahan pertanian.
Langkah ini, meski dianggap kontroversial oleh sebagian kalangan, justru menuai perhatian luas dari publik. Banyak yang memuji keberanian Lucky Hakim dalam mengedepankan pendekatan ramah lingkungan, sementara sebagian lainnya mengingatkan perlunya pengawasan dan edukasi agar inisiatif ini tidak berakhir sia-sia.
Dari Ular ke Burung Hantu: Strategi Ekologis yang Mengguncang Dunia Maya
Beberapa waktu lalu, Bupati Lucky Hakim sempat menjadi bahan perbincangan setelah melepas ribuan ular ke sawah-sawah di Kabupaten Indramayu. Tujuannya jelas: memanfaatkan ular sebagai predator alami tikus. Namun, aksi itu menuai pro dan kontra. Banyak warga yang khawatir akan keselamatan mereka, terutama anak-anak, saat beraktivitas di sekitar area persawahan.
Kini, Lucky Hakim kembali melangkah lebih jauh. Kali ini, ia menggandeng burung hantu jenis Tyto alba—atau yang dikenal luas sebagai burung hantu sawah—sebagai “tentara alami” dalam perang melawan hama pengerat. Menurut data dari Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Kabupaten Indramayu, sudah terdapat sekitar 300 ekor burung hantu yang ditempatkan di rumah-rumah burung (Rubuha) yang dibangun di lokasi strategis.
Rumah-rumah burung ini tersebar di wilayah-wilayah yang selama ini dikenal rawan serangan tikus, seperti Kecamatan Kroya, Lohbener, dan Jatibarang. Setiap Rubuha dirancang khusus agar nyaman bagi burung hantu untuk bersarang, berkembang biak, dan berburu tikus secara alami.
“Ini Bukan Sekadar Aksi, Tapi Solusi Berkelanjutan”
Dalam keterangan resminya, Lucky Hakim menekankan bahwa program ini bukan sekadar gimmick atau pencitraan semata. “Ini adalah bagian dari komitmen kami terhadap pertanian berkelanjutan. Kami ingin mengurangi ketergantungan pada pestisida kimia yang berdampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat,” ujarnya, dikutip dari situs resmi Pemkab Indramayu.
Menurutnya, penggunaan predator alami seperti ular dan burung hantu justru lebih efektif dalam jangka panjang. “Tikus berkembang biak cepat, dan pestisida hanya membunuh sebagian. Tapi dengan predator alami, ada keseimbangan ekosistem yang terbentuk. Mereka akan terus menjaga populasi tikus tetap terkendali,” tambahnya.
Fakta ilmiah mendukung pernyataan ini. Seekor burung hantu Tyto alba bisa memangsa hingga 1.000 ekor tikus per tahun. Artinya, dengan 300 burung hantu yang tersebar, potensi pengendalian hama bisa mencapai ratusan ribu tikus dalam setahun—tanpa satu tetes pun racun kimia.
Warganet Terbelah: Dukungan, Kritik, dan Masukan Konstruktif
Tak butuh waktu lama bagi inisiatif ini menjadi viral di media sosial. Di kolom komentar unggahan resmi Pemkab Indramayu, warganet ramai memberikan tanggapan. Ada yang memuji, ada yang khawatir, dan tak sedikit yang memberikan masukan strategis.
@saputrabasuki mengapresiasi langkah kreatif ini, namun mengingatkan pentingnya edukasi kepada masyarakat. “Keren ide-nya, tapi jangan lupa sosialisasikan ke desa-desa. Jangan sampai warga takut atau malah menangkap burungnya,” tulisnya.
Sementara itu, @pod_bumara mengungkapkan kekhawatiran soal keselamatan anak-anak. “Anak-anak suka main di sawah, gimana kalau ketemu ular atau burung hantu yang galak? Perlu ada rambu-rambu dan pengawasan,” katanya.
Namun, kritik paling keras datang dari sisi keberlanjutan program. @everestiegawa mempertanyakan asal-usul burung hantu yang dilepas. “Kalau burungnya dibeli dari pemburu liar, sama saja kita mendukung perdagangan satwa ilegal. Harus dipastikan dari penangkaran resmi,” ujarnya tegas.
Kekhawatiran serupa diungkapkan @_omjin, yang pesimis dengan nasib burung-burung tersebut. “Percuma... nanti pasti diburu atau dijual. Di desa-desa, masih banyak yang anggap burung hantu sebagai bahan jimat atau obat.”
Masukan dari Warga: Tambah Predator, Buat Perda!
Di tengah hujan kritik, muncul juga suara-suara konstruktif dari warganet. @nazarudah170197 menyarankan agar Pemkab menambahkan predator alami lain seperti elang dan biawak. “Elang juga pemangsa tikus, dan biawak bisa menekan populasi tikus besar. Ini bisa jadi strategi multi-pradator,” usulnya.
Tak kalah menarik, @bayurfiq mendorong pemerintah daerah untuk segera mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan Satwa Sahabat Petani. “Kalau ada aturan hukumnya, siapa pun yang menangkap atau membunuh burung hantu bisa dikenai sanksi. Ini penting untuk menjamin keberlangsungan program,” katanya.
Program Ini Sudah Lama Berjalan, Tapi Butuh Dukungan Nyata
Fakta menarik muncul dari komentar @ana_treni, yang mengungkapkan bahwa program pelepasan burung hantu sebenarnya sudah dimulai sejak tahun lalu. “Pak itu dari tahun lalu sudah berjalan, tapi sayangnya banyak burung yang ditembak warga karena dianggap angker atau dijual ke pengepul,” tulisnya.
Komentar ini mengungkap akar masalah yang lebih dalam: kurangnya kesadaran masyarakat terhadap peran ekologis satwa tertentu. Burung hantu, meski sangat bermanfaat bagi petani, masih sering dipandang sebagai pertanda buruk atau bahan komoditas.
Membangun Sinergi: Kunci Keberhasilan Pertanian Masa Depan
Di balik semua pro-kontra, satu hal yang tak bisa dipungkiri: inisiatif Bupati Lucky Hakim telah berhasil membuka diskusi publik tentang pentingnya keseimbangan ekosistem dalam pertanian. Seperti dikatakan @egophyllant, “Majunya suatu daerah butuh sinergi antara pemerintah dan masyarakat. Inovasi harus diiringi dengan edukasi dan partisipasi aktif.”