Heboh! Dugaan Pungli dan Mutasi Tak Adil di Lingkungan Bea Cukai, Pegawai Dicopot Gara-gara Tak Sapa Istri Dirjen

Heboh! Dugaan Pungli dan Mutasi Tak Adil di Lingkungan Bea Cukai, Pegawai Dicopot Gara-gara Tak Sapa Istri Dirjen

uang-pixabay-

Heboh! Dugaan Pungli dan Mutasi Tak Adil di Lingkungan Bea Cukai, Pegawai Dicopot Gara-gara Tak Sapa Istri Dirjen

Belum lama ini, dunia maya dihebohkan oleh bocoran percakapan yang diduga terjadi di internal Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai. Isu yang beredar bukan hanya soal dugaan pungutan liar (pungli), tetapi juga kasus mutasi pegawai yang dinilai aneh dan tidak masuk akal—semata-mata karena seorang pegawai dianggap tidak menyapa istri pejabat tinggi. Fenomena ini langsung memicu gelombang kritik dari publik dan menjadi sorotan tajam terhadap tata kelola internal instansi pemerintah yang seharusnya menjadi garda depan pemberantasan korupsi.



Percakapan Bocor, Terungkap Permintaan Dana Operasional Rp200 Juta

Awal mula kehebohan bermula dari unggahan akun Threads @pajaksmart yang membagikan screenshot percakapan WhatsApp antar pegawai Bea Cukai. Dalam obrolan tersebut, salah satu pegawai menyebut bahwa seorang Direktur Jenderal (Dirjen) diduga meminta dana operasional sebesar Rp200 juta per bulan dari anak buahnya.

“Dirjen minta duit operasional sebulan Rp200 juta. Orang sekre pusing semua,” begitu bunyi salah satu pesan yang viral di media sosial.



Permintaan dana sebesar itu tentu menimbulkan tanda tanya besar. Pasalnya, dalam sistem pemerintahan, semua anggaran operasional harus melalui mekanisme resmi dan transparan, termasuk pertanggungjawaban keuangan yang ketat. Tidak mungkin seorang pejabat tinggi meminta uang secara informal kepada bawahannya tanpa dasar hukum yang jelas. Jika benar terjadi, tindakan ini bisa dikategorikan sebagai bentuk pemerasan atau pungli yang melanggar aturan disiplin pegawai negeri maupun hukum pidana.

Sekretariat Pusing, Pegawai Terbebani

Dari isi percakapan, terlihat jelas bahwa permintaan tersebut menimbulkan tekanan besar di lingkungan kerja, khususnya bagi staf sekretariat yang dituntut untuk memenuhi kebutuhan finansial atasan. Frasa “orang sekre pusing semua” menjadi cermin betapa beban psikologis dan administratif yang dirasakan oleh para pegawai yang merasa terjepit antara kewajiban kerja dan etika profesional.

Dalam sistem birokrasi yang sehat, dana operasional seorang pejabat seharusnya sudah dialokasikan melalui anggaran negara dan dicairkan melalui mekanisme yang sah. Tidak ada ruang bagi permintaan "di luar jalur" yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan memicu praktik korupsi. Jika benar terjadi, hal ini bisa mencoreng reputasi Ditjen Bea Cukai yang sejak lama dikenal sebagai instansi yang tegas dalam menegakkan hukum kepabeanan dan cukai.

Kasus Lain: Pegawai Dimutasi Karena Tak Menyapa Istri Dirjen

Tidak hanya soal dana operasional, bocoran percakapan juga mengungkap dugaan mutasi seorang pegawai yang dinilai tidak etis. Menurut narasi yang beredar, seorang pegawai dilaporkan dimutasi dari posisinya karena dianggap tidak menyapa istri sang Dirjen saat beliau melintas di salah satu direktorat.

Dalam kronologinya, istri Dirjen diketahui kerap bolak-balik melewati gedung kantor, namun karena kehadirannya tidak dikenal secara resmi oleh pegawai, beberapa staf tidak memberikan sambutan khusus. Namun, sang istri merasa tidak dihormati dan langsung memarahi para pegawai dengan nada tinggi.

“Akhirnya ibunya dengan nada tinggi nanyain ‘setiap saya datang kok kalian gak sambut ya’,” demikian isi percakapan yang menggambarkan suasana tegang di lokasi kejadian.

Akibat insiden tersebut, salah satu pegawai yang dianggap tidak ramah langsung dikenai sanksi mutasi. Tindakan ini langsung menuai kritik keras dari banyak pihak, karena mutasi seharusnya didasarkan pada kinerja, integritas, atau kebutuhan organisasi—bukan karena persoalan etika sosial yang bersifat subjektif.

Publik Geram, Tagar #BeaCukaiTerserah Trending

Reaksi publik terhadap kasus ini begitu cepat dan masif. Di berbagai platform media sosial, khususnya Twitter dan Threads, tagar seperti #BeaCukaiTerserah, #MutasiKarenaTakSapa, dan #DirjenPemeras menjadi trending dalam hitungan jam. Banyak netizen yang menyampaikan kekecewaan, bahkan ada yang menyindir bahwa instansi yang seharusnya memberantas penyelundupan justru menjadi sarang penyimpangan.

“Kalau pegawai dimutasi karena tidak menyapa istri pejabat, besok-besok harus pasang security khusus buat jaga gengsi keluarga Dirjen,” tulis seorang netizen dengan nada sarkastik.

Sementara itu, kalangan pegiat anti-korupsi menyerukan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kementerian Keuangan segera turun tangan. “Ini bukan soal satu dua orang. Ini soal budaya kerja yang rusak. Jika dibiarkan, akan merusak moral aparatur negara,” ujar seorang aktivis dari Transparency International Indonesia.

Ditjen Bea Cukai Belum Buka Suara, Publik Tuntut Transparansi

Hingga berita ini diturunkan, pihak Ditjen Bea Cukai belum memberikan pernyataan resmi terkait dugaan pungli dan mutasi tidak adil tersebut. Padahal, sebagai instansi yang berada di bawah Kementerian Keuangan, transparansi dan akuntabilitas adalah harga mati.

Banyak pihak mendesak agar internal Bea Cukai segera membentuk tim investigasi independen untuk mengusut tuntas dugaan pelanggaran etika dan hukum ini. Selain itu, identitas Dirjen yang diduga terlibat juga harus segera diungkap agar tidak terjadi kesimpangsiuran informasi dan fitnah.

Dampak Jangka Panjang: Hilangnya Kepercayaan Publik

Kasus ini bukan sekadar isu internal. Dampaknya sangat luas, terutama terhadap citra instansi pemerintah di mata publik. Ditjen Bea Cukai memiliki peran strategis dalam menjaga arus barang masuk dan keluar negeri, menegakkan hukum, serta mengamankan penerimaan negara. Jika integritas pejabatnya diragukan, maka kepercayaan publik terhadap sistem pun ikut tergoyahkan.

Belum lagi, kasus seperti ini bisa menjadi bahan bakar bagi pelaku penyelundupan atau koruptor untuk memanfaatkan celah dalam sistem. Jika pejabat bisa meminta uang secara paksa dan memutasi pegawai karena alasan sepele, maka sangat mungkin terjadi jual beli jabatan, pembiaran pelanggaran, atau bahkan pemerasan terhadap importir.

Baca juga: KABAR DUKA! I Gusti Kompyang Manila Meninggal Dunia pada 18 Agustus 2025 di Usia 83 Tahun

TAG:
Sumber:


Berita Lainnya