Profil Tampang Peter Berkowitz Akademisi Pro-Israel yang Diundang UI untuk jadi Pembicara dalam Sebuah Seminar, Lengkap: Umur, Agama dan Akun IG

Profil Tampang Peter Berkowitz Akademisi Pro-Israel yang Diundang UI untuk jadi Pembicara dalam Sebuah Seminar, Lengkap: Umur, Agama dan Akun IG

Peter-Instagram-

Profil Tampang Peter Berkowitz Akademisi Pro-Israel yang Diundang UI untuk jadi Pembicara dalam Sebuah Seminar, Lengkap: Umur, Agama dan Akun IG
Heboh! Undangan Akademisi Pro-Israel Peter Berkowitz ke UI Picu Kemarahan Publik

Gelombang kemarahan publik merebak di jagat maya setelah Universitas Indonesia (UI) mengundang Peter Berkowitz, seorang akademisi dan pensiunan pejabat pemerintahan AS yang dikenal vokal mendukung kebijakan Israel, sebagai pembicara utama dalam acara Pengenalan Sistem Akademik Universitas (PSAU) Pascasarjana 2025. Kehadiran Berkowitz di Balairung UI, Depok, pada Sabtu (23/8/2025), memicu kontroversi besar, menuai kecaman dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, aktivis HAM, hingga warganet dari seluruh penjuru Indonesia.



Acara yang seharusnya menjadi ajang perkenalan sistem akademik bagi mahasiswa pascasarjana ini justru berubah menjadi sorotan tajam karena keputusan kontroversial UI menghadirkan sosok yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan internasional. Banyak pihak menilai bahwa mengundang seorang tokoh yang secara terbuka membela kebijakan militer Israel terhadap Palestina adalah bentuk penghinaan terhadap prinsip keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh institusi pendidikan.

Peter Berkowitz: Akademisi atau Propagandis Pro-Israel?
Peter Berkowitz, yang saat ini menjabat sebagai Senior Fellow di Hoover Institution, Stanford University, bukanlah nama asing dalam kancah politik internasional. Ia dikenal sebagai intelektual konservatif Amerika Serikat yang kerap menulis artikel tajam di media-media sayap kanan seperti RealClearPolitics, The Wall Street Journal, dan National Review. Namun, reputasinya tercoreng karena sejumlah tulisannya yang dianggap membela agresi militer Israel dan menyerang gerakan solidaritas global terhadap Palestina.

Dalam artikel-artikelnya, Berkowitz kerap menyamakan dukungan terhadap Palestina dengan dukungan terhadap terorisme. Beberapa judul tulisannya yang kontroversial antara lain: "Oxford Scholars Betray Their Vocation To Vilify Israel", "Campus Backing of Hamas Condemns U.S. Higher Education", dan "Confronting the Woke-Left and Jihad-Enthusiast Alliance". Dalam tulisan-tulisan tersebut, ia menyerang akademisi yang mengkritik Israel sebagai bagian dari "gerakan woke" atau bahkan sebagai simpatisan kelompok jihad.



Tak hanya sebagai penulis, Berkowitz juga pernah menjabat sebagai Direktur Perencanaan Kebijakan di Departemen Luar Negeri AS selama pemerintahan Presiden Donald Trump—periode yang dikenal dengan kebijakan luar negeri yang sangat pro-Israel, termasuk pemindahan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem dan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel, langkah yang ditolak secara luas oleh dunia internasional.

Orasi tentang Kebebasan, Tapi Dihadiri oleh Pembela Genosida?
Dalam orasinya di UI, Berkowitz membawakan tema “Pendidikan untuk Kebebasan dan Demokrasi”. Ia sempat memuji konstitusi Indonesia, menyebut bahwa sistem hukum negara ini menjamin kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, serta hak untuk berserikat dan berkumpul. “Konstitusi Anda melindungi hak-hak dasar—dimulai dari kebebasan beragama... kebebasan berbicara, berserikat, pers, dan berkumpul,” ujarnya dalam pidato yang kemudian viral di media sosial.

Ironi pun muncul. Banyak warganet menyoroti ketidaksesuaian antara isi pidato dan rekam jejak sang pembicara. Bagaimana mungkin seorang yang membela rezim yang melanggar hak asasi manusia secara sistematis di Gaza dan Tepi Barat bisa berbicara tentang kebebasan dan demokrasi di tanah air yang secara konsisten mendukung kemerdekaan Palestina?

“Kemunafikan yang nyata. Sungguh menjijikkan,” tulis pengguna X (sebelumnya Twitter) dengan akun @hidanhidaan, yang langsung mendapat ribuan likes dan retweet.

Kritik Menggema: UI Dituding Jadi Fasilitator Zionis
Kritik terhadap UI tidak hanya datang dari kalangan masyarakat umum, tetapi juga dari aktivis kampus dan intelektual muda. Banyak yang menilai bahwa universitas terkemuka di Indonesia ini telah melukai hati rakyat dengan membuka pintu bagi tokoh yang dianggap mendukung genosida terhadap rakyat Palestina.

“Universitas yang benar-benar mendukung Zionis,” tulis @irajule13, mengecam keputusan panitia acara.

Lebih tajam lagi, akun @dvsirenco menyebut bahwa UI telah “meludahi” motto lembaganya sendiri: Veritas. Probitas. Iustitia—Kebenaran. Kebijaksanaan. Keadilan.

“Kebenaran. Kebijaksanaan. Keadilan. Kamu mengkhotbahkannya, tetapi hari ini kamu meludahinya,” kritiknya pedas, mencerminkan kekecewaan mendalam terhadap institusi yang seharusnya menjadi penjaga nilai-nilai moral dan keadilan.

Rekam Jejak yang Dipertanyakan, Motivasi Undangan Juga Diragukan
Hingga berita ini diturunkan, pihak Rektorat UI belum memberikan pernyataan resmi mengenai alasan di balik undangan kepada Peter Berkowitz. Tidak jelas pula proses seleksi pembicara, kriteria yang digunakan, atau apakah ada pertimbangan etis dan politik sebelum keputusan ini diambil.

Pertanyaan besar pun muncul: Apakah UI mempertimbangkan sensitivitas isu Palestina bagi masyarakat Indonesia? Bagaimana dengan posisi resmi pemerintah Indonesia yang secara konsisten menolak pendudukan Israel dan mendukung kemerdekaan Palestina?

“Ini bukan soal kebebasan akademik. Ini soal etika, tanggung jawab moral, dan kesetiaan pada prinsip keadilan. Mengundang seseorang yang membela kekerasan terhadap rakyat yang tertindas bukanlah akademik—itu provokatif,” ujar Dr. Rizal Fadli, dosen FISIP UI yang meminta anonimitas karena khawatir akan tekanan institusi.

Kebebasan Akademik vs. Tanggung Jawab Sosial
Kasus ini memicu perdebatan luas tentang batas antara kebebasan akademik dan tanggung jawab sosial universitas. Memang, sebagai institusi ilmu pengetahuan, universitas harus terbuka terhadap berbagai pandangan. Namun, kebebasan berpendapat tidak berarti harus memberi panggung kepada tokoh yang secara eksplisit membela pelanggaran HAM berat, apalagi jika hal itu menyakiti hati mayoritas masyarakat.

“Kebebasan akademik bukanlah izin untuk membela kejahatan kemanusiaan,” tegas Naura Putri, aktivis mahasiswa dari Aliansi Mahasiswa Peduli Palestina (AMPP). “UI seharusnya menjadi benteng keadilan, bukan wadah bagi narasi yang mengaburkan fakta tentang genosida di Gaza.”

Dampak Jangka Panjang terhadap Reputasi UI
Insiden ini dikhawatirkan akan meninggalkan noda dalam sejarah UI. Sebagai kampus dengan visi menjadi world class university, UI dituntut tidak hanya unggul dalam riset dan akademik, tetapi juga dalam integritas moral dan kepekaan sosial.

Keputusan mengundang tokoh kontroversial tanpa transparansi dan kajian etis yang memadai bisa merusak kepercayaan publik terhadap institusi. Banyak alumni, mahasiswa, dan masyarakat sipil mulai mempertanyakan komitmen UI terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan global.

Beberapa petisi daring pun bermunculan, menuntut UI meminta maaf secara terbuka dan meninjau ulang kebijakan undangan pembicara di masa depan. “Kami tidak butuh pembicara yang membela pembantaian. Kami butuh pemimpin intelektual yang berpihak pada kebenaran,” tulis salah satu petisi yang telah ditandatangani lebih dari 10.000 orang.

TAG:
Sumber:


Berita Lainnya