Sri Mulyani Gencar Kerek Penerimaan Pajak 2026: Gandeng KPK, Polisi, hingga NGO untuk Pastikan Rakyat Taat Bayar Pajak

uang-pixabay-
Sri Mulyani Gencar Kerek Penerimaan Pajak 2026: Gandeng KPK, Polisi, hingga NGO untuk Pastikan Rakyat Taat Bayar Pajak
Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, kembali menunjukkan komitmennya dalam memperkuat fondasi keuangan negara. Kali ini, langkah yang diambil tak main-main: Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menjalin kerja sama strategis dengan sejumlah lembaga penegak hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, bahkan hingga organisasi non-pemerintah (NGO). Langkah ini diambil sebagai bagian dari upaya besar untuk mencapai target penerimaan pajak sebesar Rp2.357,7 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2026.
Langkah kolaboratif ini diungkap langsung oleh Sri Mulyani dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi XI DPR RI di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, pada pekan lalu. Ia menekankan pentingnya sinergi antarlembaga dalam menciptakan ekosistem perpajakan yang transparan, akuntabel, dan adil. “Ditjen Pajak tidak bekerja sendiri. Kami bekerja erat dengan aparat penegak hukum, termasuk KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian, serta melibatkan NGO-NGO yang kredibel, guna memastikan data perpajakan yang akurat dan dapat dipercaya,” ujar Sri Mulyani dalam pidatonya.
Kolaborasi lintas institusi ini bukan tanpa alasan. Di tengah tantangan ekonomi global yang masih fluktuatif, pemerintah terus berupaya meningkatkan pendapatan negara tanpa harus menambah beban utang secara berlebihan. Target penerimaan pajak sebesar Rp2.357,7 triliun merupakan bagian dari total target pendapatan negara yang ditetapkan sebesar Rp3.147,7 triliun untuk tahun 2026. Angka ini mencerminkan pertumbuhan sekitar 9,8 persen year-on-year (YoY) dibandingkan proyeksi penerimaan pada 2025. Pertumbuhan tersebut dianggap ambisius, namun tetap realistis mengingat potensi perluasan basis wajib pajak dan optimalisasi sistem administrasi perpajakan.
Kolaborasi Strategis: Dari KPK hingga NGO
Keterlibatan KPK, Polisi, dan Kejaksaan dalam penegakan hukum perpajakan menjadi sorotan utama. Selama ini, pelanggaran di bidang perpajakan kerap terkait dengan tindak pidana korupsi, pencucian uang, atau penggelapan aset. Dengan adanya kerja sama ini, diharapkan bisa terjadi pertukaran data yang lebih intensif, deteksi dini terhadap praktik penghindaran pajak (tax evasion), serta penindakan tegas terhadap pelaku yang sengaja menyalahgunakan sistem.
“Kami ingin membangun sistem yang tidak hanya efisien, tapi juga adil. Artinya, mereka yang memang mampu harus membayar sesuai kewajiban. Tidak boleh ada yang ‘main-main’ dengan uang negara,” tegas Sri Mulyani.
Tak hanya lembaga pemerintah, keterlibatan NGO juga menjadi bagian dari strategi soft approach pemerintah. NGO-NGO yang fokus pada tata kelola pemerintahan, transparansi fiskal, dan advokasi hak warga negara akan dilibatkan sebagai mitra dalam sosialisasi, edukasi, bahkan pengawasan. Mereka diharapkan bisa menjadi jembatan antara pemerintah dan masyarakat, terutama untuk meningkatkan kesadaran pajak di kalangan UMKM, pekerja gig, dan masyarakat kelas menengah ke bawah.
Respons Publik: Antara Dukungan dan Kritik Pedas
Langkah Sri Mulyani yang dianggap tegas ini pun menuai beragam respons di media sosial. Cuitan dari akun Twitter @jateng_twit yang membagikan pernyataan Menkeu tersebut pada 26 Agustus 2025 telah ditayangkan lebih dari 1,5 juta kali dan mendapat ribuan komentar, retweet, dan like.
Sebagian warganet memuji langkah tersebut sebagai upaya serius untuk menegakkan keadilan fiskal. “Akhirnya ada langkah konkret! Selama ini yang bayar pajak malah rakyat kecil, sementara orang besar bisa lolos. Semoga kali ini benar-benar fair,” tulis akun @ekonomimuda.
Namun, tak sedikit pula yang mengkritik keras, terutama terkait persepsi bahwa beban pajak terus dipusatkan pada rakyat jelata, sementara kelompok elit dan pengusaha besar masih bisa menghindar. Salah satu komentar yang viral berasal dari akun @04jofika:
“FF @kemenkeuRI ini! Rakyat yang sudah taat pajak selama ini diawasi. Anggota-anggota @dpr_ri yang LHKPN-nya tidak sesuai fakta, PPh21 malah dibayar negara. Yang harusnya diawasi ketat itu pemegang HGU tambang, 1000 orang terkaya di Indonesia, oligarki, dan pejabat-pejabat serakah yang kekayaannya tidak jelas!”
Kritik serupa juga datang dari akun @domluiz1976 yang menyindir secara satir:
“Yang merasa ini mamaknya tolong jemput pulang ya, sepertinya sudah terserang sakit jiwa.”
Sementara itu, akun @hhotmaan menyoroti isu struktural dalam perekonomian nasional:
“Ya lu semua gak capable ngelola hasil bumi Indonesia dan BUMN, kita yang dibebani akhirnya! BUMN pada rugi tiap tahun, hasil bumi masuk kantong oligarki, warga susah nyari kerja malah dirampok sana-sini lewat macam-macam pajak. Pemerintah anj***.”
Tantangan Besar di Balik Target Ambisius
Di balik ambisi besar, pemerintah dihadapkan pada sejumlah tantangan nyata. Salah satunya adalah rendahnya tingkat kepatuhan pajak di kalangan wajib pajak potensial. Menurut data DJP, jumlah wajib pajak terdaftar terus meningkat, namun kontribusi dari sektor informal dan pelaku ekonomi digital masih minim. Selain itu, masih banyak celah dalam sistem pelaporan dan audit yang bisa dimanfaatkan untuk penghindaran pajak.
Selain itu, publik juga menuntut transparansi. Banyak yang mempertanyakan, apakah dana pajak yang dikumpulkan benar-benar digunakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk memperkaya kelompok tertentu. Oleh karena itu, langkah Sri Mulyani perlu diimbangi dengan reformasi tata kelola BUMN, optimalisasi pengelolaan sumber daya alam, serta pemberantasan korupsi secara sistematis.
Pajak Bukan Sekadar Pemungutan, Tapi Soal Keadilan Sosial
Sri Mulyani menekankan bahwa pajak bukan sekadar alat untuk mengisi kas negara, melainkan instrumen penting dalam mewujudkan keadilan sosial. “Pajak adalah bentuk partisipasi warga negara dalam pembangunan. Tapi partisipasi ini harus didasarkan pada prinsip keadilan: yang mampu membayar, membayar; yang tidak mampu, dilindungi,” ujarnya.
Ia juga menyoroti pentingnya edukasi perpajakan sejak dini. Kemenkeu tengah menggodok program edukasi pajak di sekolah dan perguruan tinggi, serta pelatihan bagi pelaku UMKM dan freelancer. “Kita ingin membangun budaya sadar pajak, bukan hanya budaya takut pajak,” tambahnya.
Menuju Sistem Perpajakan yang Lebih Modern dan Adil
Langkah penggandengan KPK, Polri, dan Kejaksaan juga menandai pergeseran paradigma dari sistem perpajakan yang reaktif menjadi proaktif. Dengan dukungan teknologi seperti big data, artificial intelligence, dan integrasi data perbankan, pemerintah kini bisa lebih mudah melacak transaksi mencurigakan, mengidentifikasi wajib pajak potensial, dan menindak tegas pelanggar.