Penjelasan Ending dan Review Film Perang Kota : Nuansa Nostalgia yang Memukau, Tapi Endingnya Bikin Penasaran

Perang kota-Instagram-
Penjelasan Ending dan Review Film Perang Kota : Nuansa Nostalgia yang Memukau, Tapi Endingnya Bikin Penasaran
Adaptasi novel klasik Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis (1952) akhirnya tiba di layar lebar lewat tangan dingin Mouly Surya. Dibintangi Ariel Tatum, Chicco Jerikho, dan Jerome Kurnia, Perang Kota bukan hanya menawarkan kisah perjuangan di era pasca-kemerdekaan, tetapi juga pengalaman sinematik yang unik. Bagaimana tidak? Film ini menghadirkan sensasi "jadul" yang mendetail, lengkap dengan konflik emosional dan fisik yang intens. Namun, apakah film ini sukses memadukan estetika lawas dengan narasi modern? Simak ulasan lengkapnya di bawah ini!
Sinematografi Bernuansa Nostalgia: Seperti Menonton TV Tabung Zaman Dulu
Salah satu daya tarik utama Perang Kota adalah keberaniannya menggunakan format layar 4:3 yang jarang ditemui di era perfilman kontemporer. Format ini bukan sekadar gimmick visual, melainkan pilihan strategis untuk membawa penonton terjun ke atmosfer tahun 1950-an. Nuansa hitam-putih yang dihadirkan Mouly Surya bersama sinematografernya membuat setiap frame terasa seperti potret sejarah hidup.
Gaya pengambilan gambar ala film bisu—dengan gerakan kamera lambat dan pencahayaan kontras—memperkuat kesan dramatis. Tak hanya itu, detail audio pun diolah dengan presisi. Suara hujan yang menggenang di jalan berbatu, alunan biola dari jarak kejauhan, hingga derap langkah kaki karakter terasa begitu realistis. Ini bukan sekadar film, melainkan pengalaman sensorik yang membuat penonton seolah "hidup" di dalam dunia cerita.
Konflik Batin dan Fisik yang Menguras Emosi
Bercerita tentang pergulatan Isa (diperankan Chicco Jerikho) sebagai mantan pejuang yang kembali ke Jakarta pasca-kemerdekaan, film ini menggali kompleksitas hubungan manusia di tengah konflik sosial. Perselingkuhan antara Fatimah (Ariel Tatum) dan Hazil (Jerome Kurnia) menjadi benang merah yang menguras emosi. Dinamika cinta segitiga ini disajikan dengan ketegangan yang terasa autentik, mengingatkan pada kisah-kisah konflik rumah tangga modern, tetapi diliputi nuansa klasik yang kuat.
Bagi penonton yang tidak terbiasa dengan adegan kekerasan, persiapan mental wajib dilakukan. Adegan perkelahian brutal, luka tembak, dan simbol-simbol perang fisik digambarkan tanpa ampun. Mouly Surya bahkan tidak ragu menunjukkan detil luka dan darah yang membuat adegan tersebut terasa sangat nyata. Kombinasi antara konflik batin dan fisik ini membuat Perang Kota lebih dari sekadar film drama—ini adalah refleksi gelap tentang manusia yang terjebak dalam ketidakpastian masa depan.