Komdigi Diduga Lakukan Upaya Penghapusan Jejak Digital Bantahan Pernyataan Fadli Zon Soal Tragedi Mei 1998

Fadly-Instagram-
Komdigi Diduga Lakukan Upaya Penghapusan Jejak Digital Bantahan Pernyataan Fadli Zon Soal Tragedi Mei 1998
Beberapa waktu lalu, dunia maya dihebohkan dengan pernyataan kontroversial yang dilontarkan oleh Menteri Kebudayaan, Fadli Zon. Dalam sebuah kesempatan, ia menyatakan bahwa tidak ada kasus pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998 — salah satu momen kelam dalam sejarah bangsa Indonesia. Pernyataan tersebut langsung memicu gelombang reaksi dari berbagai pihak, terutama karena bertolak belakang dengan fakta-fakta historis dan pengakuan para korban serta saksi mata.
Tragedi Mei 1998 dikenang sebagai masa kelam di mana banyak kekerasan terjadi, termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan etnis Tionghoa. Sejumlah investigasi, buku, hingga laporan resmi seperti hasil penelitian Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998 menyebutkan adanya indikasi kuat kasus pemerkosaan massal. Namun, pernyataan Fadli Zon justru menimbulkan polemik baru, terlebih kini muncul dugaan bahwa upaya untuk membantah pernyataannya itu sedang dihapus secara sistematis dari ruang digital.
Bukti Permintaan Penghapusan Konten oleh Komdigi Terbongkar di Twitter
Pada 19 Juni 2025, sebuah cuitan di akun Twitter @murthadaone1 menjadi viral. Akun tersebut mengunggah tangkapan layar email dari platform Twitter/X yang menyatakan bahwa Kementerian Komunikasi dan Informatika (Komdigi) telah mengajukan permintaan penghapusan atau takedown terhadap sejumlah unggahan yang membantah pernyataan Fadli Zon.
Dalam cuitannya, @murthadaone1 menyampaikan kekecewaannya atas tindakan tersebut. “Parah! Bukannya sibuk memblokir situs-situs judi yang semakin merajalela, @kemkomdigi malah sibuk meminta takedown postingan-postingan yang membantah pernyataan menteri @kemenbud tentang pemerkosaan massal,” tulisnya.
Cuitan ini kemudian mendapatkan lebih dari 34,9 ribu tayangan dan puluhan komentar dari netizen yang turut menyuarakan keprihatinan mereka. Beberapa bahkan mengaku telah menerima notifikasi dari Twitter/X terkait penghapusan konten mereka yang membahas isu tersebut.
Netizen Curiga Ada Upaya Menghilangkan Sejarah Kelam Bangsa
Banyak pihak mulai mencurigai adanya upaya sistematis untuk menghilangkan jejak digital dari peristiwa Mei 1998, terutama yang berkaitan dengan tuduhan pemerkosaan massal. "Semakin banyak yang bilang kalau postingan mereka yang membantah pernyataan Fadli Zon terkait tragedi pemerkosaan massal '98 diminta takedown oleh Komdigi. Semakin tampak jelas orkestrasi rezim ini dalam upaya menghapus sejarah kelam yang terkait dengan mereka," papar @murthadaone1 lebih lanjut.
Komentar serupa juga datang dari netizen lainnya. Salah satu pengguna Twitter dengan akun @aintn0thing menulis, “Menterinya bukannya jurnalis ya dulunya? Kok sekarang jadi zionis?” Sementara akun @donna_francy memberikan komentar emosional: “98 minta diilangin? Masih inget gak bisa tidurnya waktu dulu.” Di sisi lain, @zakki_uye ikut menyoroti hal ini dengan mengatakan, “Inilah wujud penulisan sejarah dengan ‘tone positif’.”
Apa Kata Hukum dan Etika?
Langkah yang diduga dilakukan oleh Komdigi ini tentu saja menimbulkan pertanyaan besar, baik dari segi hukum maupun etika. Pasal 28 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menyebutkan bahwa penyelenggara elektronik dapat melakukan blokir atau penghapusan konten jika terdapat laporan dari pihak berwenang. Namun, apakah konten bantahan terhadap pernyataan seorang menteri bisa dikategorikan sebagai konten ilegal?
Lebih jauh lagi, dari sisi etika jurnalistik dan kebebasan berekspresi, upaya menghilangkan narasi yang berbeda atau yang berfungsi sebagai koreksi publik bisa dianggap sebagai bentuk sensor yang melanggar hak asasi manusia. Hal ini pun menuai kritik keras dari kalangan aktivis, akademisi, dan pegiat media sosial.
Peran Media dan Masyarakat dalam Menjaga Ingatan Sejarah
Di tengah arus informasi yang begitu deras, penting bagi masyarakat untuk tetap kritis dan aktif menjaga ingatan kolektif bangsa. Tragedi Mei 1998 adalah bagian dari sejarah Indonesia yang harus diakui, dipelajari, dan menjadi pelajaran agar kesalahan serupa tidak terulang di masa depan.
Media, baik konvensional maupun digital, memiliki peran strategis dalam menjaga keberadaan fakta-fakta sejarah. Begitu pula masyarakat sipil yang terus berupaya melestarikan narasi para korban, dokumentasi peristiwa, dan analisis ilmiah terkait peristiwa tersebut.