Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Melambat di Awal 2025, Tantangan Besar dari Dunia Kerja

uang-pixabay-
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Melambat di Awal 2025, Tantangan Besar dari Dunia Kerja
Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan pada kuartal pertama tahun 2025. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,87 persen secara tahunan (year-on-year). Angka ini menunjukkan penurunan jika dibandingkan dengan capaian periode sebelumnya, dan memicu berbagai pertanyaan tentang faktor-faktor yang menyebabkannya.
Salah satu penyebab utama melambatnya laju perekonomian adalah permasalahan struktural di sektor ketenagakerjaan. Menurut Arief Anshory Yusuf, Anggota Dewan Ekonomi Nasional, sistem ketenagakerjaan yang belum optimal menjadi penghambat utama dalam meningkatkan konsumsi rumah tangga—komponen terbesar dalam Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Perlambatan Ekonomi Dipengaruhi Lemahnya Daya Beli
Arief menjelaskan bahwa daya beli masyarakat masih rendah karena banyaknya tenaga kerja yang tidak mendapatkan pekerjaan layak. Meski tingkat pengangguran tampak rendah, namun kualitas lapangan kerja sering kali jauh dari standar yang ideal. Banyak masyarakat terpaksa menerima pekerjaan apapun meskipun tidak sesuai dengan harapan atau kemampuan mereka, hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
“Ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah. Kita harus jujur mengakui bahwa definisi ‘bekerja’ yang digunakan saat ini terlalu longgar,” ujarnya.
Definisi “Bekerja” Terlalu Longgar
Fakta mencengangkan terungkap saat Arief mengulas definisi bekerja yang diterapkan di Indonesia. Saat ini, seseorang bisa dikategorikan sebagai "bekerja" jika melakukan aktivitas produktif minimal satu jam dalam seminggu. Hal ini berbeda jauh dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat atau negara-negara Eropa, yang memiliki standar lebih ketat dalam menentukan status ketenagakerjaan.
Akibatnya, angka pengangguran di Indonesia cenderung terlihat rendah, padahal realitanya banyak warga yang bekerja dalam kondisi tidak layak. Di negara maju, meskipun tingkat pengangguran lebih tinggi, warganya memiliki jaminan sosial yang memungkinkan mereka tetap bertahan sambil menunggu pekerjaan yang benar-benar cocok dan layak.
Perlu Reformasi Sistem Ketenagakerjaan
Menurut Arief, sudah saatnya Indonesia mereformasi sistem ketenagakerjaannya agar lebih fokus pada penciptaan lapangan kerja berkualitas. Ia menilai, selama ini pembukaan lapangan kerja lebih diprioritaskan pada kuantitas daripada kualitas. Padahal, tanpa adanya pekerjaan yang layak, produktivitas nasional akan sulit meningkat, dan dampaknya akan terasa pada laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
“Kita butuh pendekatan baru. Bukan sekadar menciptakan lapangan kerja, tapi juga memastikan bahwa pekerjaan itu memberikan upah yang layak, jaminan sosial, serta lingkungan kerja yang aman dan produktif,” tandasnya.
Strategi Baru Pemerintah: Serap 6 Juta Tenaga Kerja Setiap Tahun
Merespons situasi ini, pemerintah mulai menyusun strategi baru untuk menyerap 6 juta angkatan kerja baru setiap tahunnya. Target tersebut tidak mudah, mengingat jumlah lulusan perguruan tinggi dan pendidikan vokasi yang terus meningkat tiap tahun, sementara pertumbuhan lapangan kerja belum sebanding.
Beberapa langkah yang sedang dirancang antara lain adalah penguatan pelatihan vokasi, insentif bagi perusahaan yang membuka lapangan kerja berkualitas, serta pendorongan investasi di sektor padat karya yang bernilai tambah tinggi.
Meningkatkan Konsumsi Rumah Tangga untuk Dongkrak Ekonomi
Konsumsi rumah tangga merupakan motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang menyumbang hingga sekitar 55-60 persen dari total PDB. Oleh karena itu, meningkatkan daya beli masyarakat menjadi kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil dan merata.
Dengan adanya reformasi di sektor ketenagakerjaan, diharapkan kualitas pekerjaan akan meningkat, sehingga berdampak langsung pada kenaikan pendapatan dan kepercayaan masyarakat untuk berkonsumsi.
“Jika kita berhasil menciptakan lapangan kerja yang layak dan produktif, maka daya beli masyarakat akan naik. Ini akan mendorong konsumsi, yang pada akhirnya akan menghidupkan kembali roda perekonomian nasional,” papar Arief.
Menuju Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan
Perlambatan pertumbuhan ekonomi di awal tahun 2025 menjadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap berbagai kebijakan yang ada. Selain soal ketenagakerjaan, isu-isu lain seperti infrastruktur, pendidikan, dan perlindungan sosial juga harus menjadi bagian integral dari strategi pembangunan ke depan.
Langkah-langkah konkret seperti peningkatan kualitas SDM, akses pendidikan yang merata, serta dukungan terhadap UMKM dan kewirausahaan dinilai akan sangat penting untuk menciptakan ekosistem ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Baca juga: Lina Mukherjee Kembali Jadi Sorotan, Pamer Kemesraan dengan Pacar Bule hingga Undang Reaksi Netizen