Heboh Pernyataan Ryu Kintaro: Jadi Perintis Itu Seru! – Netizen Terbelah, Apa Beda Perintis dan Pewaris?

Heboh Pernyataan Ryu Kintaro: Jadi Perintis Itu Seru! – Netizen Terbelah, Apa Beda Perintis dan Pewaris?

Ryu-Instagram-

Heboh Pernyataan Ryu Kintaro: Jadi Perintis Itu Seru! – Netizen Terbelah, Apa Beda Perintis dan Pewaris?

Belakangan ini, jagat media sosial dihebohkan oleh pernyataan kontroversial dari seorang anak berusia 10 tahun, Ryu Kintaro Sebastian. Dalam sebuah video singkat yang viral di TikTok, Ryu menyatakan bahwa hidup sebagai perintis karier adalah hal yang paling seru. Namun, pernyataan yang terdengar penuh semangat itu justru memicu gelombang kritik dan perdebatan sengit di kalangan warganet.



Video tersebut diunggah melalui akun TikTok @Yayatt, yang memperkenalkan Ryu sebagai anak dari Christopher Sebastian Iskandar, seorang pengusaha sukses dan CEO dari Makko Group — sebuah perusahaan yang dikenal aktif di bidang properti, teknologi, dan investasi. Dengan latar belakang keluarga yang mapan secara finansial, klaim Ryu sebagai "perintis" pun langsung dipertanyakan oleh banyak orang.

Dari Anak Usia 7 Tahun Sudah Berbisnis: Benarkah Perintis?
Dalam videonya, Ryu tampil percaya diri, bercerita tentang perjalanannya membangun karier sejak usia dini. Ia mengaku mulai berbisnis sejak usia 7 tahun, dan berhasil mengantongi uang Rp100 juta pertama di usia 8 tahun. Prestasi yang luar biasa untuk anak seusianya, tentu saja.

“Yang paling seru itu justru hidup sebagai perintis. Nggak ada yang nunjukin arah, nggak ada yang menjamin hasil. Tapi justru itulah letak asiknya,” ujar Ryu dengan semangat.



Namun, di balik antusiasme itu, muncul pertanyaan besar: apakah seseorang yang tumbuh di lingkungan keluarga kaya raya dan mendapat dukungan finansial besar bisa disebut sebagai perintis?

Banyak warganet yang menilai bahwa perjalanan Ryu jauh dari gambaran “rintisan” yang sebenarnya. Beberapa netizen mengungkapkan bahwa Ryu dikabarkan menerima “angpao” tahunan senilai Rp75 juta dari orang tuanya — jumlah yang bahkan melebihi penghasilan tahunan rata-rata pekerja kantoran di Indonesia.

Belum lagi, Ryu telah menerbitkan buku berjudul Cara Mendapatkan 100 Juta Pertama di Usia 8 Tahun, yang semakin memperkuat citra dirinya sebagai anak muda sukses. Tapi di sisi lain, banyak yang merasa narasi ini terasa janggal, karena terkesan mengabaikan realitas sosial ekonomi yang dihadapi oleh mayoritas masyarakat.

Perintis Sejati vs. Anak Beruntung: Di Mana Batasnya?
Bagi sebagian besar orang, menjadi perintis bukanlah pilihan yang "seru", melainkan satu-satunya jalan untuk bertahan hidup. Banyak warganet yang berbagi pengalaman pahit mereka merintis karier dari nol, tanpa modal, tanpa jaring pengaman, dan bahkan sambil menanggung beban keluarga.

Salah satu komentar viral datang dari seorang netizen yang menyebut bahwa menjadi perintis sejati berarti siap menghadapi kegagalan yang bisa berdampak langsung pada kelangsungan hidup. “Bro, kalau kamu punya backup finansial, gagal sekali dua kali masih bisa dicoba lagi. Tapi buat kami yang nggak punya safety net, sekali jatuh, bisa langsung bangkrut. Bukan cuma mimpi yang hancur, tapi juga masa depan keluarga,” tulisnya dalam video respons.

Ia menekankan bahwa banyak orang bangun pagi bukan karena passion, tapi karena tuntutan hidup: bayar listrik, cicilan, biaya sekolah anak, dan tagihan lainnya. Bagi mereka, “perintis” bukanlah label yang keren, melainkan kenyataan pahit yang harus dihadapi setiap hari.

Narasi yang Timpang: Logika, Emosi, dan Kredibilitas
Persoalan ini pun menarik perhatian Rian Fahardhi, seorang analis narasi dari akun Instagram @rian.fahardhi. Ia menilai bahwa inti masalah bukan terletak pada semangat Ryu, melainkan pada cara penyampaian dan konteks sosial yang menyertainya.

“Secara logika (logos) dan emosional (pathos), pesan Ryu sangat kuat. Tapi secara ethos — kredibilitas — publik merasa ada ketidaksesuaian,” jelas Rian, mengutip prinsip retorika klasik dari Aristoteles.

Menurutnya, ketika seseorang dari posisi yang sangat aman secara ekonomi berbicara tentang risiko, ketidakpastian, dan semangat merintis, maka pesan itu bisa terasa jauh dari realitas kebanyakan orang. “Publik melihat jarak antara kata dan kenyataan. Itu yang membuat narasi Ryu terasa timpang,” tambahnya.

Namun, Rian juga menegaskan bahwa semangat dan pola pikir Ryu patut diapresiasi. “Untuk anak seusia 10 tahun, punya visi, disiplin, dan mampu menulis buku itu luar biasa. Tapi penting juga untuk memahami konteks sosial dan sensitivitas terhadap pengalaman orang lain,” ujarnya.

Apa Itu Perintis dan Pewaris? Simak Definisinya
Untuk memperjelas perdebatan ini, penting untuk memahami arti dari dua kata kunci: perintis dan pewaris.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perintis adalah orang yang memulai atau membuka jalan dalam suatu usaha, pekerjaan, atau bidang tertentu — sering kali tanpa contoh sebelumnya. Mereka adalah pelopor, inovator, dan pejuang yang membuka jalan bagi generasi berikutnya.

Sementara itu, pewaris adalah seseorang yang menerima warisan — baik berupa harta, bisnis, gelar, atau kekayaan — dari orang tua atau keluarga. Pewaris tidak membangun dari nol, melainkan melanjutkan atau mengelola apa yang telah dibangun oleh generasi sebelumnya.

Dalam konteks ini, meskipun Ryu mungkin memulai bisnisnya sendiri, banyak yang berpendapat bahwa akses ke modal, jaringan, dan dukungan keluarga membuatnya lebih tepat disebut sebagai calon pewaris yang sedang dilatih, bukan perintis yang benar-benar mandiri.

Apresiasi untuk Semangat, Tapi Jangan Abaikan Realitas
Meski menuai kritik, tidak bisa dipungkiri bahwa Ryu Kintaro menunjukkan potensi besar sebagai generasi muda yang mandiri, kreatif, dan memiliki mentalitas kewirausahaan sejak dini. Kemampuannya berbicara di depan kamera, menulis buku, dan mengelola bisnis adalah pencapaian yang patut diacungi jempol untuk anak seusianya.

Namun, kasus ini juga menjadi cerminan penting tentang bagaimana kita menyampaikan kisah sukses. Narasi yang terlalu idealis tanpa mempertimbangkan konteks sosial bisa terasa tidak autentik, bahkan menyinggung perasaan mereka yang benar-benar merintis dari bawah.

Rian Fahardhi menutup analisisnya dengan pesan yang penuh harapan: “Semangat ya, Ryu. Semoga kamu terus berkembang. Dan untuk kita semua, mari hargai semangat anak muda, tapi juga jangan lupa bahwa perjuangan setiap orang itu unik. Kita semua bisa jadi perintis, meskipun sebagian dari kita kelak akan menjadi pewaris.”

Refleksi Sosial: Ketika Sukses Jadi Konten, Siapa yang Terwakili?
Viralnya Ryu Kintaro juga membuka diskusi lebih luas tentang budaya konten di media sosial. Di era digital, kisah sukses sering kali disederhanakan menjadi formula: “mulai muda, kerja keras, dapat uang jutaan.” Padahal, di balik layar, ada faktor-faktor besar seperti latar belakang ekonomi, akses pendidikan, dan jaringan sosial yang sangat menentukan.

Baca juga: Microsoft Hapus Password pada 1 Agustus: Ini Panduan Lengkap dan Langkah Darurat yang Harus Anda Ambil Sekarang!

TAG:
Sumber:


Berita Lainnya