Bagaimana Sebuah Film Bisa Tampil di Bioskop Indonesia?

Bagaimana Sebuah Film Bisa Tampil di Bioskop Indonesia?

tanda tanya-pixabay-

Bagaimana Sebuah Film Bisa Tampil di Bioskop Indonesia?

Belakangan ini, dunia perfilman Indonesia diguncang oleh kontroversi seputar film animasi Merah Putih One For All. Bukan karena kualitas cerita atau animasinya yang memukau, melainkan justru karena pertanyaan besar yang muncul: Bagaimana bisa film ini tayang di bioskop-bioskop nasional?



Kontroversi ini bermula dari cuitan Toto Soegriwo, produser film tersebut, di akun Twitter-nya @totosoegriwo pada 11 Agustus 2025. Ia membantah tudingan bahwa film animasi Merah Putih One For All menerima dana sebesar Rp6,7 miliar dari pemerintah. Namun, alih-alih meredam kecurigaan publik, klarifikasi tersebut justru membuka kotak pandora.

Netizen mulai bertanya-tanya: jika tidak ada dana dari pemerintah, dari mana sumber pembiayaan film ini berasal? Bagaimana bisa sebuah proyek dengan durasi pengerjaan hanya sekitar dua bulan, serta kualitas animasi yang dipertanyakan, mendapat hak distribusi nasional dan tayang serentak di bioskop-bioskop besar di seluruh Indonesia?

Kritik Publik: “Bagaimana Bisa Tembus Bioskop?”
Reaksi publik tidak main-main. Banyak yang merasa bahwa proses distribusi film ini tidak transparan dan melanggar logika bisnis perfilman yang sehat.



Akun Twitter @oppohyung_ menulis, “Kalau begitu, pertanyaannya sekarang gimana ceritanya ide film ini lolos fase pitching, bisa mengumpulkan dana segitu banyak, diberi waktu pengerjaan cuma +- 2 bulan, terus dapat hak distribusi nasional hanya untuk merilis film ‘nasionalis’ yang sebenarnya gak ada urgensinya?”

Pertanyaan serupa juga muncul dari akun @tripaloskieh yang menyoroti aspek etika: “Les say iya kalau tidak menerima dana sepeserpun dari siapapun, tapi pertanyaannya utamanya kok bisa sih, masuk bioskop even dengan animasi yang bapak sendiri tidak membayar royalti kepada yang punya? Etika dari situnya juga sudah salah.”

Sementara itu, @arlyimmanuel menekankan bahwa dunia perfilman adalah bisnis, bukan idealisme semata. “XXI aja masukin ke film ke layar ngitung biaya operasional, film begini gak mungkin bisa tembus bioskop seluruh Indonesia kecuali…” kalimatnya menggantung, memancing spekulasi.

Dan yang paling mencolok, @bribbon menyentil prosedur teknis yang seharusnya wajib dilalui: “Duit darimana deh pak? Sedangkan XXI aja ada ketentuannya sendiri buat tayang disana ada dokumen yang harus di tanda tangan dan ada screening yang harus dilakukan layak atau tidak.”

Pertanyaan-pertanyaan ini mengungkap ketidakpercayaan masyarakat terhadap transparansi sistem distribusi film di Indonesia. Lalu, bagaimana sebenarnya sebuah film bisa tayang di bioskop?

Distribusi Film: Proses yang Tersembunyi di Balik Layar
Menurut buku Menjegal Film Indonesia: Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film Indonesia yang diunggah di Scribd, distribusi adalah roda tersembunyi yang menggerakkan industri film. Meski tak terlihat oleh publik, distribusi adalah tahap krusial yang menentukan nasib sebuah film di layar lebar.

“Distribusi film adalah seni yang tak tampak karena sepenuhnya berjalan di belakang layar, jauh dari hiruk pikuk produksi dan sorotan publik di tahap eksibisi,” demikian disebutkan dalam buku tersebut.

Tanpa distribusi yang baik, sebagus apa pun filmnya, bisa jadi hanya akan berakhir di hard disk sang sutradara. Distributor bertugas memastikan film sampai ke penonton melalui mekanisme pasar yang kompleks. Mereka menentukan jumlah cetak film (copy), pangsa pasar, lokasi penayangan, waktu rilis, hingga analisis potensi keuntungan.

Dalam prosesnya, distributor berperan sebagai perantara antara produser dan eksibitor (bioskop). Mereka membeli hak eksploitasi dari produser dengan tiga skema utama:

Beli putus – Distributor membayar sejumlah uang tetap kepada produser untuk mendapatkan hak penuh atas film.
Komisi – Distributor mendapat persentase tertentu dari hasil penjualan tiket.
Bagi hasil – Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara produser dan distributor.
Setelah itu, distributor menjual hak tayang ke bioskop, baik dengan harga pasti atau sistem bagi hasil. Namun, tidak semua film langsung diterima. Bioskop besar seperti CGV, Cinépolis, atau XXI memiliki prosedur ketat, termasuk screening internal untuk menilai kelayakan teknis dan konten film.

Proses Distribusi Film di Indonesia: Lima Tahap Kunci
Berdasarkan pengalaman praktisi seperti Ifa Isfansyah, sutradara serial Gadis Kretek, proses distribusi film di Indonesia melibatkan banyak pihak dan tahapan yang rumit. Berikut adalah rangkuman tahapannya:

1. Negosiasi Hak Distribusi
Setelah film selesai diproduksi, produser harus menentukan mitra distribusi. Ini adalah tahap krusial karena menyangkut nasib finansial film. Skema kerja sama—beli putus, komisi, atau bagi hasil—harus disepakati dengan jelas.

2. Penjualan Hak Tayang ke Bioskop
Distributor kemudian menawarkan film ke jaringan bioskop. Bioskop akan menilai berdasarkan potensi penonton, kualitas teknis, dan strategi pemasaran. Film dengan kualitas rendah biasanya sulit masuk ke jaringan besar kecuali ada faktor lain seperti dukungan sponsor atau kepentingan politik.

3. Penyuntingan Ulang untuk Pasar Lokal
Seperti yang diungkapkan Ifa Isfansyah, film yang sudah jadi belum tentu langsung siap tayang. Kadang, hasil akhir harus diedit ulang agar sesuai dengan selera penonton Indonesia. Ini termasuk penyesuaian dialog, pacing cerita, hingga elemen budaya.

4. Strategi Promosi dan Peluncuran
Tanpa promosi, film bisa tenggelam. Distributor dan produser merancang kampanye pemasaran yang meliputi trailer, poster, premiere, press conference, roadshow ke kota-kota besar, hingga kolaborasi dengan influencer. Semakin besar anggaran promosi, semakin besar pula peluang film dikenal luas.

5. Penayangan Bertahap
Film biasanya tidak langsung tayang serentak di seluruh Indonesia. Penayangan awal dilakukan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Bandung. Jika respons penonton positif, film akan diperluas ke kota-kota lain. Ini dikenal sebagai platform release.

Kasus Merah Putih One For All: Apakah Ada yang Salah?
Kembali ke kontroversi Merah Putih One For All, banyak yang mempertanyakan apakah prosedur distribusi telah dilanggar. Jika benar film ini hanya dikerjakan dalam waktu dua bulan, dengan kualitas animasi yang dipertanyakan, lalu bagaimana bisa lolos screening di bioskop-bioskop ternama?

Beberapa netizen menduga adanya intervensi non-teknis—bisa berupa tekanan politik, relasi kuat, atau bahkan dukungan dari pihak-pihak yang ingin memanfaatkan narasi nasionalisme untuk tujuan tertentu.

Baca juga: Barbie Kumalasari Jadi Korban Keributan Sengit di Belakang Layar Acara TvOne: Kaki Terluka Parah, Siap Tempuh Jalur Hukum

TAG:
Sumber:


Berita Lainnya