LMKN Minta Royalti Murotal Al-Qur'an, Publik Heboh: Pungutan Sah atau Pungli Berkedok Hukum?

Ilustrasi Masjid--
LMKN Minta Royalti Murotal Al-Qur'an, Publik Heboh: Pungutan Sah atau Pungli Berkedok Hukum?
Sebuah kabar mengejutkan beredar di media sosial pada Agustus 2025, menyusul laporan bahwa Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dikabarkan mulai menagih royalti atas pemutaran murotal Al-Qur’an di sejumlah hotel syariah. Salah satunya, sebuah hotel kecil di Mataram, Nusa Tenggara Barat, dikabarkan menerima tagihan sebesar Rp4,4 juta per tahun hanya karena memutar bacaan Al-Qur’an sebagai latar belakang suasana religius.
Langkah LMKN ini memicu gelombang kritik dan pertanyaan besar di tengah masyarakat, terutama dari kalangan akademisi, pengacara, dan aktivis hukum. Banyak yang mempertanyakan legalitas, etika, bahkan akal sehat di balik pungutan tersebut. Apalagi, sebelumnya LMKN juga sempat menuai kontroversi karena menagih royalti atas rekaman suara kicauan burung.
Tagihan Rp4,4 Juta untuk Murotal Al-Qur’an, Netizen Bereaksi
Kabar ini mencuat setelah Aura Akhman, dosen Universitas Trisakti sekaligus praktisi hukum, membagikan tangkapan layar tagihan dari LMKN melalui akun Threads pribadinya, @auraakhman, pada 17 Agustus 2025. Dalam unggahannya, Aura menyebut bahwa hotel syariah yang hanya memutar murotal Al-Qur’an—tanpa musik komersial, tanpa TV berlangganan—tetap dikenai tarif tahunan berdasarkan jumlah kamar.
“Royalti musik vs murotal Qur’an: Salah kaprah ‘blanket tarif’ LMKN – Pungutan atau Pungli?” tulis Aura, menandai kritik tajam terhadap kebijakan yang dianggapnya tidak adil dan keliru secara hukum.
Menurutnya, sistem blanket tariff (tarif paket) yang digunakan LMKN justru mengabaikan substansi dari hak cipta itu sendiri. Dalam praktiknya, semua hotel—meski tidak memutar musik komersial—tetap dikenai tarif berdasarkan kapasitas kamar. Artinya, hotel tanpa TV, hotel syariah, bahkan penginapan kecil yang hanya memutar Al-Qur’an dari YouTube atau sumber bebas pun tetap harus membayar.
Murotal Al-Qur’an Bukan Musik Komersial, Ini Soal Ibadah
Akhman menekankan bahwa murotal Al-Qur’an bukanlah produk musik komersial yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta. Dalam UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, pasal 40 ayat (1) huruf d menyebutkan bahwa yang dilindungi adalah ciptaan manusia. Sementara, Al-Qur’an dalam keyakinan umat Islam adalah firman Tuhan, bukan hasil karya manusia, sehingga secara hukum tidak masuk dalam ranah hak cipta.
“Murotal adalah ibadah, bukan hiburan. Menyamakannya dengan lagu pop atau iklan jelas merupakan salah kaprah hukum yang sangat serius,” tegas Aura.
Ia juga menegaskan bahwa royalti hanya berlaku jika ada pemanfaatan komersial terhadap fonogram komersial—rekaman musik yang diproduksi oleh label, artis, dan dipasarkan untuk keuntungan. Namun, dalam kasus hotel di Mataram, murotal yang diputar berasal dari sumber bebas seperti YouTube, aplikasi Al-Qur’an digital, atau rekaman gratis dari lembaga keagamaan. Tidak ada transaksi komersial, tidak ada label rekaman, dan tidak ada pemanfaatan untuk tujuan profit.
Sistem Blanket Tarif Dinilai Tidak Adil dan Diskriminatif
Salah satu akar masalah yang diangkat Aura adalah penerapan sistem blanket tariff oleh LMKN. Sistem ini mengharuskan pengguna layanan publik seperti hotel, restoran, atau mal membayar royalti berdasarkan ukuran fisik (jumlah kamar, luas area, dll), bukan berdasarkan apa yang benar-benar diputar.
“Bayangkan, hotel tanpa TV pun kena. Hotel syariah yang sengaja tidak menayangkan musik duniawi demi menjaga nuansa religius, tetap harus bayar. Apakah ini masuk akal?” tanya Aura retoris.
Ia menilai, sistem ini berpotensi menjadi pungutan liar (pungli) berkedok hukum, karena tidak membedakan antara konten yang dilindungi hak cipta dan konten yang bersifat publik domain, seperti Al-Qur’an, adzan, atau rekaman ceramah keagamaan.
Kritik Publik Memanas, Netizen: "Ini Harus Digugat!"
Unggahan Aura Akhman langsung viral dan memicu gelombang diskusi di platform media sosial. Banyak netizen yang mengecam keras langkah LMKN, menyebutnya sebagai bentuk eksploitasi terhadap nilai-nilai keagamaan.
“Tahu gak sih kenapa sekarang jadi gencar? Dananya masuk ke pemerintah. LMKN ini didirikan oleh Yasona Laoly, loyalisnya Jokowi. Ini bukan soal hak cipta, ini soal uang,” tulis akun @daulat_aryanigara.
Sementara akun @arie_rianto menyerukan aksi kolektif: “Pengusaha hotel se-Indonesia harus bergabung untuk menggugat LMKN. Ini sudah keterlaluan. Murotal Al-Qur’an dijadikan komoditas? Tidak bisa diterima!”
Akun @adit.rahmanda juga menyampaikan kekecewaan: “Sejak awal, sistem LMKN memang bobrok. Mereka seperti tidak bisa membedakan mana lagu berhak cipta, mana yang bebas. Asal ada suara, langsung diklaim sebagai musik yang harus bayar royalti. Ini pungli berkedok legal.”
LMKN dan Polemik Peran Lembaga Kolektif Nasional
LMKN sendiri dibentuk sebagai lembaga resmi yang bertugas mengelola hak ekonomi pencipta, pelaku, dan pemilik hak cipta musik. Secara teori, keberadaannya penting untuk melindungi seniman dari eksploitasi tanpa izin. Namun, dalam praktiknya, banyak pihak yang mempertanyakan transparansi, mekanisme, dan keadilan dalam penagihan royalti.
Faktanya, LMKN tidak hanya menagih hotel, tetapi juga restoran, salon, mal, bahkan tempat ibadah yang menggunakan sound system. Padahal, dalam UU Hak Cipta, ada pengecualian untuk penggunaan non-komersial dan kegiatan keagamaan.