Indonesia Tidak Akan Turun Salju pada Tahun 2026, Ini Penjelasan Lengkap BMKG

salju-pixabay-
Indonesia Tidak Akan Turun Salju pada Tahun 2026, Ini Penjelasan Lengkap BMKG
Pada Bulan Apa Indonesia Akan Turun Salju di Tahun 2026? Benarkah Antara Maret Hingga Mei?
Belakangan ini, jagat maya dihebohkan dengan kabar yang menyebut bahwa Indonesia akan mengalami turun salju pada tahun 2026. Kabar tersebut menyebar luas melalui berbagai platform media sosial dan bahkan disertai dengan foto-foto editan yang memperlihatkan suasana bersalju di depan ikon-ikon nasional seperti Monumen Nasional (Monas) di Jakarta dan Gedung Sate di Bandung.
Tentu saja, fenomena seperti ini cukup mengejutkan, terlebih bagi masyarakat yang tinggal di negara tropis seperti Indonesia. Bagaimana tidak, salju biasanya hanya terjadi di wilayah dengan iklim dingin atau subtropis, bukan di daerah yang memiliki suhu rata-rata cukup panas sepanjang tahun.
Namun, sayangnya informasi tentang turun salju di Indonesia hanyalah sebuah hoaks belaka. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), sebagai lembaga resmi yang bertugas memantau kondisi cuaca dan iklim di Indonesia, telah memberikan klarifikasi resmi mengenai hal ini.
BMKG Tegas: Indonesia Bukan Wilayah Bersalju
Kepala BMKG, Prof. Dwikorita Karnawati, dalam pernyataannya secara tegas membantah isu viral tersebut. Ia menyatakan bahwa informasi soal turunnya salju di Indonesia adalah sepenuhnya keliru dan tidak memiliki dasar ilmiah sama sekali.
“Informasi tersebut sangat menyesatkan dan tidak sesuai dengan kondisi geografis serta klimatologis Indonesia,” ujar Prof. Dwikorita.
Ia menegaskan bahwa iklim Indonesia yang tropis membuat negara ini tidak mungkin mengalami hujan salju. Suhu udara di sebagian besar wilayah Indonesia berkisar antara 25 hingga 32 derajat Celsius sepanjang tahun, dengan tingkat kelembapan yang relatif tinggi. Kondisi ini jelas tidak mendukung proses pembentukan kristal es, apalagi salju yang turun dari awan.
Fakta Ilmiah Tentang Salju dan Iklim Tropis
Dalam dunia meteorologi, salju terbentuk ketika uap air di atmosfer membeku menjadi kristal es di bawah titik beku (0°C). Kristal-kristal tersebut kemudian bergabung membentuk serpihan salju yang turun ke permukaan bumi saat cukup berat.
Sementara itu, di Indonesia, suhu rata-rata yang cenderung hangat dan lembap membuat kondisi tersebut mustahil terjadi secara alami. Proses pendinginan ekstrem yang dibutuhkan untuk membentuk salju tidak akan tercapai di wilayah yang berada di garis khatulistiwa.
Embun Es vs Salju: Ini Perbedaannya
Meskipun Indonesia tidak mengalami turun salju, masyarakat mungkin pernah menyaksikan fenomena embun es di beberapa dataran tinggi seperti Dieng (Jawa Tengah) dan Bromo (Jawa Timur). Fenomena ini seringkali disalahartikan sebagai salju karena penampakannya yang putih menutupi rumput dan tanaman.
Namun, embun es atau frost berbeda secara ilmiah dengan salju. Embun es terbentuk akibat uap air di udara yang langsung membeku saat suhu permukaan tanah mencapai titik beku pada malam hari. Hal ini umum terjadi di daerah pegunungan tinggi saat musim kemarau panjang.
Berbeda dengan salju yang merupakan hasil presipitasi dari awan, embun es tidak berasal dari langit, melainkan proses kondensasi di permukaan bumi.
Ancaman Nyata: Mencairnya Es Abadi di Puncak Jayawijaya
Alih-alih bersiap-siap menyambut salju, BMKG justru mengingatkan masyarakat tentang ancaman nyata yang lebih serius, yaitu melelehnya es abadi di Puncak Jayawijaya, Papua.
Gunung tertinggi di Indonesia ini—yang memiliki ketinggian lebih dari 4.800 meter di atas permukaan laut—adalah satu-satunya tempat di Nusantara yang memiliki salju alami. Namun, pemanasan global telah menyebabkan lapisan es di sana semakin tipis setiap tahunnya.
Prof. Dwikorita menjelaskan bahwa pada tahun 2026, bukan turun salju yang akan terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta atau Bandung, melainkan kemungkinan besar hilangnya seluruh lapisan es di Pegunungan Jayawijaya.
“Yang harus kita waspadai bukanlah kabar bohong tentang turun salju, tetapi fakta bahwa simbol salju terakhir di Indonesia bisa punah dalam waktu dekat,” tandasnya.
Masyarakat Diminta Bijak Menghadapi Informasi Viral
BMKG mengimbau masyarakat agar tidak mudah percaya dengan informasi yang tersebar di media sosial tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu. Segala informasi mengenai cuaca dan iklim sebaiknya dikonfirmasi kepada otoritas resmi seperti BMKG untuk menghindari kesimpangsiuran data.
Selain itu, penting bagi masyarakat untuk meningkatkan literasi digital dan memahami cara membedakan antara informasi faktual dengan konten hoaks atau manipulatif.
“Kami siap memberikan edukasi kepada publik mengenai fenomena cuaca maupun iklim yang benar. Jangan sampai hoaks meresahkan masyarakat dan menimbulkan kepanikan,” tutup Prof. Dwikorita.