SPOILER Nonton A Hundred Memories 3-4 Sub Indo di Netflix Bukan LK21: Ketika Bus Nomor 100 Menjadi Panggung Cinta, Persahabatan, dan Perjuangan Sejati

A Hundred-Instagram-
SPOILER Nonton A Hundred Memories 3-4 Sub Indo di Netflix Bukan LK21: Ketika Bus Nomor 100 Menjadi Panggung Cinta, Persahabatan, dan Perjuangan Sejati
Di tengah deru mesin diesel yang berdentum, suara rem yang mendesis, dan hembusan angin dingin yang masuk lewat jendela bus yang sudah usang, sebuah kisah manusiawi mulai berdetak—bukan di gedung pencakar langit Seoul, bukan di kafe-kafe kekinian yang penuh lampu neon, tapi di dalam sebuah bus tua bernomor 100, yang setiap harinya membawa ratusan nasib, mimpi, dan air mata dari satu ujung kota ke ujung lainnya.
“A Hundred Memories” — drama Korea terbaru dari JTBC yang tayang perdana pada Sabtu, 13 September 2025 — bukan sekadar serial romantis biasa. Ini adalah sebuah epik kehidupan yang disajikan seperti puisi panjang yang dinyanyikan dengan suara pelan, penuh kerinduan, dan kehangatan yang menggugah jiwa. Dengan latar waktu tahun 1987, saat Korea Selatan sedang berada di ambang revolusi demokrasi, drama ini mengajak penonton untuk kembali ke masa di mana cinta tidak diukur dari jumlah likes di media sosial, tapi dari seberapa sering seseorang mau menunggu di halte bus hingga larut malam hanya untuk memberi makan sahabatnya yang lapar.
Dua Gadis, Satu Jalan: Ketika Nasib Menyambungkan Yang Tak Terduga
Di balik pintu bus nomor 100 yang selalu berderit saat dibuka, ada dua perempuan muda yang hidupnya tampak tak akan pernah bertemu—tapi Tuhan punya cara unik untuk menyatukan mereka.
Go Young Rye (diperankan oleh Kim Da Mi), seorang kondektur bus yang bekerja dari pagi buta hingga malam menjelang. Ia bukan sekadar pegawai transportasi umum. Ia adalah ibu, saudari, penopang keluarga, dan sekaligus pejuang diam-diam. Di pagi hari, ia sudah berdiri tegak di depan pintu bus, menghitung uang receh dari pensiunan tua, membantu nenek-nenek naik turun tangga, bahkan rela membagikan bekalnya kepada penumpang yang tak punya uang. Tapi di balik senyumnya yang selalu tulus, ada mimpi besar yang tak pernah ia ungkapkan: menjadi guru.
“Saya ingin mengajar anak-anak agar mereka tahu bahwa hidup ini tidak harus berakhir di halte bus,” ucap Young Rye suatu malam, sambil menulis catatan kecil di pojok buku tulis bekas yang sudah penuh coretan.
Sementara itu, ada Seo Jong Hee (Shin Ye Eun), gadis berkilau seperti mentari pagi yang selalu tampil dengan rambut ikal sempurna, blus warna pastel, dan senyum yang bisa membuat siapa pun percaya bahwa dunia ini masih indah. Tapi di balik semua itu, ada luka yang tak pernah sembuh. Ayahnya menghilang tanpa jejak ketika ia berusia delapan tahun. Ibunya tenggelam dalam kecanduan alkohol dan obat-obatan, sehingga rumah mereka lebih mirip gubuk kosong yang berbau sedih daripada tempat tinggal.
Jong Hee percaya bahwa cinta pertama adalah kunci untuk melarikan diri dari masa lalu. Dan ia bersumpah: “Kalau aku bisa mencintai seseorang dengan sepenuh hati, mungkin aku juga bisa dicintai sepenuhnya.”
Mereka bertemu di bus nomor 100—bukan karena rencana, tapi karena takdir yang tak bisa dihindari. Sebagai rekan kerja, mereka saling mendukung. Saat Young Rye kelelahan karena shift malam, Jong Hee menggantikannya tanpa diminta. Saat Jong Hee menangis di toilet bus karena baru saja menerima telepon dari rumah, Young Rye datang dengan secangkir teh hangat dan hanya berkata: “Kita nggak sendiri.”
Han Jae Pil: Cinta Pertama yang Datang Tanpa Petasan
Lalu, muncullah Han Jae Pil (Heo Nam Jun), putra tunggal keluarga kaya pemilik “Cheong A Mart”—toko serba ada legendaris yang menjadi pusat kehidupan warga kawasan Myeongdong era 80-an. Tampan, tenang, cerdas, dan penuh empati, Jae Pil adalah pria yang tak pernah merasa cukup meski memiliki segalanya.
Ia tumbuh di rumah besar dengan lantai marmer dan lemari penuh pakaian import, tapi hatinya kosong. Ayahnya menganggapnya sebagai “warisan hidup” yang harus melanjutkan bisnis keluarga. Ibu-ibu di lingkungan itu memujinya sebagai “anak sempurna”, tapi Jae Pil justru merasa seperti boneka yang dipaksa tersenyum.
Suatu sore, ia naik bus nomor 100 karena ingin merasakan kehidupan nyata—dan di sanalah ia pertama kali melihat Young Rye. Ia terpesona bukan karena kecantikannya, tapi karena keberaniannya: bagaimana ia tetap tersenyum meski tangannya basah kuyup oleh hujan, atau bagaimana ia memilih menahan lapar demi memberi makan adiknya.
Tapi kemudian, ia juga melihat Jong Hee—gadis yang tertawa keras di bangku belakang, menari-nari mengikuti lagu dari radio tua, dan menolak menyerah meski dunia telah menghancurkannya berkali-kali.
Dan di situlah cinta pertama datang—bukan dengan bunga, bukan dengan surat cinta yang ditulis di atas kertas mewah, tapi dengan tatapan diam di antara kerumunan penumpang, dengan senyum kecil yang saling bertemu saat bus berhenti di halte terakhir, dengan tangan yang sengaja menyentuh tangan lain saat menyalakan lampu dalam kegelapan malam.
Cinta pertama tidak pernah berteriak. Ia hanya berbisik. Dan ketika dua perempuan yang sangat berbeda jatuh cinta pada pria yang sama, persahabatan mereka pun diuji—bukan oleh dendam, bukan oleh pengkhianatan, tapi oleh ketakutan: “Apa aku layak dicintai? Apa aku pantas bahagia?”
Karakter-Karakter Pendukung: Setiap Wajah Punya Cerita yang Belum Usai
A Hundred Memories bukan hanya tentang tiga tokoh utama. Ini adalah lukisan hidup yang penuh dengan nuansa kehidupan kelas pekerja Korea tahun 80-an—setiap karakter, bahkan yang hanya muncul lima menit, punya luka, mimpi, dan sejarah yang membuat kita berhenti sejenak dan bertanya: “Apa yang kau korbankan untuk bertahan hidup?”
Ma Sang Cheol (Lee Won Jung), sahabat karib Jae Pil, adalah sosok yang mengingatkan kita bahwa loyalitas bukan tentang selalu setuju, tapi tentang tetap ada meski kamu salah. Ia tak pernah menilai Jae Pil dari statusnya, tapi dari hatinya. Ia adalah pelindung yang diam, penasihat yang bijak, dan teman yang tak pernah meninggalkan.
Ko Young Sik (Jeon Sung Woo), kakak kandung Young Rye, adalah simbol harapan generasi muda yang percaya bahwa ilmu adalah senjata paling ampuh melawan ketidakadilan. Ia kuliah hukum sambil bekerja paruh waktu sebagai kurir surat. Setiap malam, ia menulis esai tentang hak buruh, sambil memperbaiki sepatu yang robek dengan lem kayu dan benang jahit.
Ibu Young Rye (Lee Jung Eun) adalah ibu yang tak pernah bilang “aku sayang kamu”. Tapi ia membayar biaya kuliah anaknya dengan menjual kalung emas warisan ibunya. Ia tidur hanya tiga jam sehari demi menyetrika pakaian para penumpang bus. Ia tak pernah mengeluh, tapi matanya sering basah saat mendengar lagu-lagu lama di radio. Ia adalah representasi nyata dari jutaan ibu Korea yang diam-diam membangun masa depan anak-anaknya dengan keringat dan doa.
Lalu ada Hoo Sook (Jung Bo Min) dan Sung Man Sook (Kim Ji Hyun)—dua wanita tua yang selalu duduk di bangku belakang bus, ngobrol soal harga telur, gosip tetangga, dan kenangan masa muda mereka. Mereka adalah suara masyarakat yang sering dilupakan: kaum lansia yang hidup di pinggiran, tapi justru paling banyak menyimpan kenangan indah tentang masa-masa sulit yang pernah mereka lewati.
Di setiap episode, kita diajak menyaksikan kehidupan yang nyata: pedagang kaki lima yang menjual tteokbokki di halte bus, mahasiswa yang menyembunyikan buku politik di dalam tas, ibu rumah tangga yang mencuri waktu untuk menulis surat ke suaminya yang sedang bekerja di pabrik—semua orang punya cerita. Dan semua cerita itu saling terhubung, seperti benang-benang yang dijahit menjadi selimut hangat di tengah musim dingin.
Bus Nomor 100: Metafora Hidup yang Berjalan
Bus nomor 100 bukan sekadar kendaraan umum. Ia adalah simbol kehidupan itu sendiri.
Ia penuh sesak, kadang berbau apek, sering mogok di tengah jalan, dan selalu melewati jalan-jalan berlubang. Tapi ia tetap bergerak. Ia tak memilih penumpang: ia menerima siapa pun—kaya atau miskin, pendidik atau pekerja kasar, aktivis atau penjahat kecil.
Di dalam bus inilah, para mahasiswa menyebarkan pamflet anti-diktator, di mana ibu-ibu berbagi resep masakan untuk menghemat uang, di mana seorang anak kecil menangis karena kehilangan mainannya, dan di mana seorang lansia berbisik, “Dulu, kita bisa berdiri tegak meski tak punya apa-apa.”
Setiap kali bus berhenti di halte, ada yang naik. Ada yang turun. Ada yang pulang. Ada yang pergi selamanya. Dan di setiap perhentian, hidup terus berjalan.
Ini adalah metafora yang begitu kuat: bahwa kita semua adalah penumpang di bus yang sama. Kita berbagi ruang, waktu, dan perjalanan. Kadang kita saling mengganggu. Kadang kita saling menyelamatkan. Tapi kita tidak pernah benar-benar sendiri.