Nonton Download Bon Appétit, Your Majesty Ep 9-10 Sub Indo di Netflix Bukan LK21: Ketika Seorang Koki Modern Mengguncang Kerajaan Joseon

Nonton Download Bon Appétit, Your Majesty Ep 9-10 Sub Indo di Netflix Bukan LK21: Ketika Seorang Koki Modern Mengguncang Kerajaan Joseon

Bon-Instagram-

Nonton Download Bon Appétit, Your Majesty Ep 7-8 Sub Indo di Netflix Bukan LK21: Ketika Seorang Koki Modern Mengguncang Kerajaan Joseon — Revolusi Rasa yang Mengubah Takhta

Jika Anda pernah bermimpi menjadi seorang koki dari abad ke-21 yang tiba-tiba terlempar ke istana kerajaan Korea pada masa Dinasti Joseon—dengan wajan sebagai senjata, resep sebagai diplomasi, dan rasa sebagai bahasa universal yang lebih kuat daripada pedang—maka Bon Appétit, Your Majesty bukan sekadar drama romantis biasa. Ini adalah epik kuliner yang menyentuh hati, menggugah akal, dan mengubah cara kita memandang makanan: bukan lagi sekadar hidangan, tapi senjata revolusioner, simbol identitas, dan jembatan antar zaman.



Episode 7 dan 8 serial ini bukan hanya lanjutan cerita. Ini adalah ledakan budaya yang meledak seperti api di dapur istana—panas, berbau rempah, dan tak bisa dipadamkan. Dalam dua episode penuh ketegangan, emosi, dan keajaiban kuliner ini, kita disuguhkan sebuah narasi yang langka: di mana makanan menjadi alat perlawanan, teknologi menjadi bentuk pemberontakan, dan cinta tumbuh di antara asap tungku dan heningnya malam istana.

Ji-Yeong: Bukan Sekadar Koki, Tapi Pemimpin Revolusi Rasa
Yeon Ji-yeong (Im Yoo-na) tidak lagi sekadar tamu tak diundang yang kebetulan pandai memasak. Ia telah bertransformasi menjadi simbol perubahan—seorang perempuan yang membawa ilmu modern ke dunia yang percaya pada tradisi tak tersentuh. Ia bukan hanya menyalakan api di tungku; ia menyalakan semangat baru dalam hati para koki istana yang selama ini hidup dalam bayang-bayang hierarki dan ketakutan akan perubahan.

Tapi kali ini, tantangannya bukan tentang menciptakan masakan lezat. Ini tentang menciptakan alat.



Pressure Cooker. Di Zaman Joseon?

Ya, Anda tidak salah baca.

Di tengah gemuruh lonceng istana yang menandakan waktu sholat pagi, dan bisikan-bisikan konspirasi di balik tirai sutra, Ji-yeong duduk sendirian di sudut dapur tua, tangannya penuh arang, kertas jerami robek-robek, dan pena bambu yang nyaris habis. Ia menggambar sketsa sebuah mesin logam dengan katup tekanan, pipa uap, dan tutup rapat—semua dirancang untuk mempercepat proses memasak tanpa mengorbankan rasa.

Baginya, pressure cooker bukan sekadar alat praktis. Ini adalah revolusi.

“Jika kita bisa memasak nasi dalam 20 menit, bukan 3 jam, maka para ibu di desa tidak perlu bangun pukul 3 pagi hanya untuk menyiapkan makanan. Anak-anak bisa tidur lebih lama. Petani bisa menghemat kayu bakar. Dan keluarga miskin bisa makan lebih sering.”

Namun, bagi para pejabat istana—terutama para koki senior yang warisan keahliannya diwariskan turun-temurun—ini adalah penghinaan terhadap ilmu suci. “Ini sihir hitam!” gerutu salah satu kepala koki. “Bukan manusia yang membuatnya. Ini hasil kutukan dari barat!”

Mereka tak mengerti bahwa inovasi bukanlah penghancuran tradisi—tapi penyempurnaan. Dan Ji-yeong tahu: jika ia ingin mengubah sistem, ia harus mengubah alatnya terlebih dahulu.

Raja Yi Heon: Dari Takhta yang Dingin ke Jalan yang Berlumpur
Ketika Ji-yeong mulai kelelahan, tubuhnya goyah karena kurang tidur dan beban pikiran, Raja Yi Heon (Lee Chae-min)—sosok yang selama ini digambarkan sebagai pemimpin dingin, terisolasi oleh trauma kematian ibunya, dan terjebak dalam permainan politik istana—membuat keputusan yang mengguncang seluruh kerajaan.

Ia meninggalkan tahta.

Tanpa penjaga, tanpa mahkota, tanpa jubah kebesaran. Ia mengenakan pakaian rakyat biasa, topi jerami menutupi wajahnya yang dikenal semua orang, dan berjalan kaki menuju pasar tradisional di pinggiran kota.

Adegan ini—satu dari yang paling memesona sepanjang serial—bukan hanya aksi heroik. Ini adalah pelarian spiritual.

Di tengah ramainya pedagang ikan asin, aroma gingseng yang baru ditumbuk, dan suara ibu-ibu yang bernegosiasi harga sayur, Yi Heon merasakan sesuatu yang sudah lama hilang: kehidupan.

Ia mencicipi sup mi hangat dari gerobak tua, menatap seorang nenek yang memasak nasi dengan kayu bakar sambil bernyanyi lagu daerah, dan mendengar seorang anak kecil bertanya, “Pak, kenapa kamu pakai baju bagus tapi makan di lantai?”

Di situlah ia sadar: kekuasaan tidak membuat seseorang bahagia. Rasa yang tulus lah yang membuat jiwa bersinar.

Dan saat ia menemukan Ji-yeong hampir pingsan di tepi sungai, ia langsung menggenggam tangannya—tanpa kata, tanpa formalitas. Hanya napas yang saling berirama. Di sanalah, sesuatu yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata mulai tumbuh: cinta yang lahir dari pengertian, bukan dari keindahan.

Je-san: Sang Penjaga Tradisi yang Takut Akan Perubahan
Sementara itu, Pangeran Je-san—sosok yang selalu tersenyum manis, bicara lembut, dan memakai baju sutra halus—adalah bayangan gelap di balik kemajuan Ji-yeong.

Ia melihat perubahan bukan sebagai kemajuan, tapi sebagai ancaman eksistensial.

“Seorang perempuan asing,” katanya kepada para menteri konservatif dalam pertemuan rahasia, “hanya dengan dua tangan dan bumbu biasa, mampu menggoyahkan fondasi istana. Apakah kita biarkan dia mengajari rakyat bahwa keahlian kita tidak lagi penting?”

Je-san bukan sekadar penentang. Ia adalah manipulator ulung. Ia menyebarkan rumor bahwa Ji-yeong menggunakan ilmu hitam dari Dinasti Ming untuk mengendalikan rasa. Ia memalsukan laporan keuangan dapur agar terkesan ada pencurian bahan makanan. Ia menyewa mata-mata untuk mencuri catatan resep Ji-yeong—bahkan sampai menyerang rumah seorang petani yang menjual jahe organik ke dapur istana.

Tapi yang paling berbahaya? Ia tahu satu hal yang belum dimengerti banyak orang: kuliner adalah kekuatan politik.

Makanan bukan hanya soal perut. Ia adalah identitas. Ia adalah kedaulatan. Ia adalah simbol kebanggaan bangsa.

Dan itulah yang membuat Je-san takut. Karena jika rakyat Joseon mulai bangga akan masakan mereka sendiri, maka mereka juga akan mulai bangkit—bukan hanya sebagai rakyat, tapi sebagai bangsa yang punya harga diri.

Kontes Kuliner Antarbangsa: Ketika Nasi Menjadi Diplomasi
Ketegangan mencapai puncaknya ketika utusan dari Dinasti Ming tiba di Joseon—bukan sebagai tamu, tapi sebagai penjajah dalam bentuk baru.

Duta besar Ming datang dengan senyum palsu, pakaian mewah, dan tantangan yang mengancam:

“Kompetisi Kuliner Antarbangsa. Pemenang akan mendapatkan hak eksklusif atas pasokan garam laut Joseon, teh hijau dari Gunung Jirisan, dan rempah langka dari wilayah timur. Kalau kalah… Joseon kehilangan kendali atas sumber daya kuliner nasionalnya. Makanan kalian akan menjadi barang impor. Dan kalian? Hanya penikmat, bukan pencipta.”

TAG:
Sumber:


Berita Lainnya