Viral Promosi Wisata Religi Buddha dengan Narasi Umrah, MUI: Kok Disebut Umrah?

hp-pixabay-
Viral Promosi Wisata Religi Buddha dengan Narasi Umrah, MUI: Kok Disebut Umrah?
Belakangan ini, jagat media sosial dihebohkan oleh sebuah video promosi wisata religi yang diduga dibuat menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI). Video tersebut mempromosikan Candi Borobudur dan beberapa candi Buddha lainnya sebagai destinasi wisata religi. Namun, narasi dalam video tersebut menuai kritik karena dinilai menyentuh sensitivitas agama lain, terutama dengan penggunaan istilah "umrah" untuk menggambarkan perjalanan ke lokasi-lokasi wisata budaya.
Dalam video yang beredar, tampak seorang remaja putri berpakaian adat Bali tengah mempromosikan keindahan serta nilai spiritual Candi Borobudur dan candi-candi Budha lainnya. Narasinya cukup menarik, bahkan cenderung membandingkan biaya kunjungan ke tempat-tempat tersebut dengan ibadah umrah atau haji dalam agama Islam.
"Leluhur kita sudah wariskan tanah suci, biaya wisata religi terjangkau. Orang-orang mau ke tanah sucinya habiskan puluhan juta. Kita satu juta aja udah bolak-balik," begitu salah satu narasi dalam video tersebut.
Lebih lanjut, narasi juga menyebut beberapa lokasi seperti Pringgodani, Gunung Lawu, Candi Ceto, Candi Sukuh, dan Candi Borobudur sebagai “tanah suci para leluhur” yang layak dikunjungi. Menariknya, narasi itu menggunakan istilah “umrah” untuk menggambarkan kunjungan ke lokasi-lokasi tersebut.
"Minimal umrah ke Pringgodani, Gunung Lawu, Candi Ceto, Candi Sukuh, Candi Borobudur — tanah suci para leluhur," ujar narator dalam video tersebut.
Komentar dari Ketua MUI: Istilah Umrah Dinilai Tidak Tepat
Penggunaan istilah “umrah” dalam konteks promosi wisata Budha ini pun mendapat respons dari Cholil Nafis, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ia menyoroti pemilihan kata tersebut yang dinilai tidak tepat dan bisa menimbulkan kesan pelecehan terhadap keyakinan agama lain.
"Ini kok istilahnya umrah ya? Yang disuruh ngomong anak-anak," komentar Cholil saat merespons pemberitaan terkait video tersebut.
Cholil sendiri tidak mempermasalahkan jika ada promosi wisata ke Candi Borobudur atau lokasi budaya lainnya. Namun, ia menyarankan agar penyampaian narasi tidak menyentuh atau membandingkan dengan praktik ibadah dari agama lain, terutama yang memiliki nuansa sakral seperti umrah dan haji.
"Mau wisata ke Borobudur atau ke sungai silakan saja. Tapi jangan sampai nyinggung agama lain yang puluhan juta umrah maupun yang antri haji. Biarkan masing-masing menjalankan ibadah sesuai keyakinannya," imbuhnya.
Menurut Cholil, setiap warga negara bebas menjalankan ajaran agamanya masing-masing, selama tetap berlandaskan Pancasila sebagai dasar negara.
"Toh kita menganut kebebasan beragama. Setiap orang bebas menjalankan ajaran agama masing-masing. Dasarnya adalah Pancasila," tandasnya.
Video Diduga Hasil Buatan AI, tapi Tetap Menuai Kontroversi
Di kolom komentar unggahan-unggahan terkait video ini, banyak netizen yang mencoba memberikan klarifikasi bahwa video tersebut kemungkinan besar merupakan hasil rekayasa AI. Namun, meskipun diproduksi oleh teknologi, banyak pihak tetap mempertanyakan siapa yang bertanggung jawab atas narasi yang dihasilkan.
"Ya kalau iya pakai AI, pasti tetap ada manusia di balik pembuatan narasinya. Jadi tetap harus ada pertanggungjawaban moral dan etika," tulis salah satu netizen.
Sebagian lain menyoroti bagaimana perkembangan teknologi AI memang semakin pesat, tetapi masih minim regulasi dalam penggunaannya untuk konten-konten publik, terutama yang menyangkut isu sensitif seperti agama dan budaya.
Promosi Wisata Religi Harus Sensitif terhadap Keberagaman
Keberadaan Borobudur sebagai situs warisan dunia UNESCO memang tak bisa dipungkiri lagi. Selain sebagai objek wisata, Candi Borobudur juga menjadi simbol penting bagi perkembangan agama Buddha di Indonesia. Sebagai destinasi wisata religi, Borobudur tentu saja layak dipromosikan. Namun, promosi tersebut sebaiknya dilakukan dengan cara yang lebih bijak dan tidak memicu polemik antarumat beragama.
Pemakaian istilah seperti “tanah suci” atau “umrah” yang biasanya identik dengan ajaran agama tertentu memang rentan menimbulkan salah tafsir. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih hati-hati dalam penyusunan narasi promosi wisata religi, terutama jika melibatkan elemen budaya dan keyakinan agama yang berbeda.