Kesaksian Warga Pulau Gag Raja Ampat: Air Berubah Jadi Cokelat Akibat Limbah Tambang Nikel

Kesaksian Warga Pulau Gag Raja Ampat: Air Berubah Jadi Cokelat Akibat Limbah Tambang Nikel

raja ampat-pixabay-


Kesaksian Warga Pulau Gag Raja Ampat: Air Berubah Jadi Cokelat Akibat Limbah Tambang Nikel

Raja Ampat, salah satu destinasi wisata alam terbaik di Indonesia yang dikenal dengan keindahan bawah lautnya, kini tengah menghadapi ancaman serius. Keberadaan aktivitas tambang nikel di sejumlah wilayah kepulauan tersebut mulai menimbulkan dampak lingkungan yang mencemaskan masyarakat setempat.



Baru-baru ini, sebuah kesaksian dari warga Pulau Gag, salah satu pulau di kawasan Raja Ampat, Papua Barat, menjadi viral di media sosial. Dalam unggahan akun TikTok Greenpeace Indonesia, seorang warga menyampaikan keluh kesahnya terkait perubahan kondisi lingkungan akibat aktivitas pertambangan yang beroperasi tidak jauh dari pemukiman mereka.

Menurut kesaksian tersebut, air laut yang dulunya jernih dan berwarna biru cerah, kini berubah menjadi cokelat setelah hujan turun. Perubahan warna air ini diduga kuat disebabkan oleh limbah hasil aktivitas tambang nikel yang berada di dekat perkampungan warga.

"Kebetulan kampung saya dari Pulau Gag, Raja Ampat, tempat yang sudah dibangun tambang. Air di sana kalau hujan dari warna biru jadi coklat karena limbah, dan tambang dibangun berhadapan langsung dengan wilayah perkampungan," tulisnya dalam kolom komentar video Greenpeace Indonesia.



Pernyataan ini memicu reaksi luas dari masyarakat luas, termasuk berbagai organisasi lingkungan hidup. Salah satunya adalah Greenpeace Indonesia yang telah lama menyuarakan perlindungan terhadap ekosistem Raja Ampat dari eksploitasi berlebihan.

Dalam postingan resmi di akun Instagram @greenpeaceid, lembaga tersebut menyatakan bahwa Raja Ampat—yang dikenal sebagai “Surga Terakhir di Dunia”—sedang menuju kehancuran akibat industri pertambangan nikel. Mereka menegaskan bahwa meskipun hilirisasi nikel digadang-gadang sebagai bagian dari transisi energi bersih, nyatanya proyek ini meninggalkan kerusakan lingkungan yang parah, tidak hanya di Sulawesi dan Maluku, tetapi kini juga mengancam kawasan Raja Ampat.

“Hilirisasi Nikel yang digadang sebagai jalan menuju energi bersih telah meninggalkan jejak kehancuran di berbagai tempat dari Sulawesi hingga Maluku, dan kini mengancam Raja Ampat, Papua Barat,” tulis Greenpeace dalam unggahannya.

Aktivitas pertambangan nikel di kawasan Raja Ampat sendiri diketahui dilakukan oleh perusahaan BUMN, PT Aneka Tambang (Antam) Tbk. Meski pemerintah daerah maupun pusat belum secara resmi memberikan tanggapan terkait klaim warga tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) disebut sedang menindaklanjuti laporan-laporan terkait operasi tambang ilegal atau yang berpotensi merusak lingkungan di kawasan itu.

Bahkan, KLH menyatakan akan mempertimbangkan langkah hukum jika terbukti ada pelanggaran lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan tambang. Hal ini tentu saja menjadi sorotan penting mengingat Raja Ampat merupakan salah satu warisan alam yang dilindungi secara internasional karena keanekaragaman hayatinya.

Ancaman Nyata bagi Ekosistem Laut
Raja Ampat merupakan bagian dari Coral Triangle , wilayah segitiga karang yang memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Lebih dari 75 persen spesies karang dunia dapat ditemukan di wilayah ini. Selain itu, ribuan jenis ikan dan biota laut lainnya juga bergantung pada ekosistem yang masih relatif alami.

Namun, jika aktivitas tambang nikel terus dibiarkan tanpa pengawasan ketat, maka risiko pencemaran laut, sedimentasi berlebih, serta penurunan kualitas habitat laut bisa semakin parah. Limbah tambang yang tersapu hujan dan mengalir ke laut akan membahayakan terumbu karang, ikan, dan kehidupan laut lainnya.

Tidak hanya berdampak pada ekosistem, hal ini juga akan berimbas besar pada perekonomian masyarakat lokal yang sebagian besar bergantung pada pariwisata dan perikanan.

Suara Warga Harus Didengar
Kesaksian warga Pulau Gag menjadi semacam alarm awal yang harus segera ditindaklanjuti oleh semua pihak. Jika benar adanya perubahan warna air laut akibat aktivitas tambang, maka ini adalah tanda bahaya bahwa ekosistem Raja Ampat sedang dalam ancaman serius.

Masyarakat lokal, aktivis lingkungan, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) terus menyerukan moratorium atau setidaknya evaluasi menyeluruh terhadap izin tambang di kawasan ini. Mereka menolak ekspansi tambang yang dinilai lebih menguntungkan korporasi besar, namun merugikan rakyat kecil dan lingkungan.

“Kami tidak ingin anak cucu kami hanya mendengar tentang indahnya Raja Ampat dari cerita orang tua. Kami ingin mereka melihat sendiri betapa kayanya alam ini,” ujar seorang aktivis lingkungan asal Sorong.

Langkah Maju yang Berisiko Menjadi Mundur
Meskipun pemerintah beralasan bahwa hilirisasi nikel bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi nasional dan mendukung produksi kendaraan listrik global, tetapi jika dilakukan tanpa memperhatikan aspek lingkungan dan hak-hak masyarakat lokal, maka pembangunan ini akan menjadi kontraproduktif.

Alih-alih menjadi solusi, ekspansi tambang nikel di kawasan sensitif seperti Raja Ampat justru bisa menjadi bencana ekologis yang tak terbalaskan.

Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif dan partisipatif dalam proses pengambilan keputusan terkait pemanfaatan sumber daya alam. Partisipasi masyarakat lokal, penelitian ilmiah yang mendalam, serta analisis dampak lingkungan yang objektif harus menjadi dasar dari setiap kebijakan eksploitasi sumber daya alam.

Baca juga: Theresia Meila Yunita Kembali Disorot, Diduga Selingkuhan Mantan Pejabat BUMN Antonius Nicholas Stephanus Kosasih yang Tersandung Kasus Korupsi

TAG:
Sumber:


Berita Lainnya