Benarkah Gaji Karyawan Restoran Ayam Goreng Khas Saudi Tak Sampai UMK? Padahal Laba Bersih Mencapai Rp94 Juta/Bulan

ayam goreng-pixabay-
Benarkah Gaji Karyawan Restoran Ayam Goreng Khas Saudi Tak Sampai UMK? Padahal Laba Bersih Mencapai Rp94 Juta/Bulan
Ayam Goreng Khas Saudi Viral di Medsos: Proyeksi Laba Bersih Rp94 Juta/Bulan, Benarkah Gaji Pegawai Tak Sampai UMK?
Belakangan ini, jagat media sosial Indonesia digemparkan dengan beredarnya informasi mengenai sebuah bisnis ayam goreng khas Arab Saudi yang viral. Bukan karena rasanya yang lezat atau konsep uniknya, tetapi karena perbandingan antara proyeksi laba bersih yang fantastis—hingga mencapai Rp94 juta per bulan—dengan gaji pegawai yang ternyata belum memenuhi Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).
Cuitan pertama kali muncul di platform X (dulu Twitter) dari akun @buruhYogyakarta yang membagikan screenshot dokumen internal terkait bisnis ayam goreng tersebut. Dalam cuitannya, ia menyoroti bagaimana proyeksi keuntungan bisnis bisa sangat besar, sementara nasib para pekerja tidak mendapat perhatian yang layak.
"Proyeksi laba bersih 94jt/bulan tapi gaji pekerjanya gak sampai UMK...." tulis akun tersebut, lengkap dengan lampiran data bisnis yang cukup rinci.
Omzet Fantastis hingga Rp331 Juta Per Bulan
Dari dokumen yang beredar, terungkap bahwa bisnis ayam goreng ala Saudi ini memiliki omzet bulanan sebesar Rp331.933.333 . Dengan biaya operasional dan pembagian laba yang sudah dirancang sedemikian rupa, proyeksi laba bersihnya pun diklaim bisa mencapai Rp94.696.888 per bulan . Artinya, dalam waktu tujuh bulan saja, investor sudah bisa balik modal.
Yang lebih mengejutkan lagi adalah pembagian hasil keuntungan antara pengelola dan mitra/investor. Tercatat bahwa pengelola bisnis mendapatkan 30% dari laba bersih , yakni sekitar Rp28.409.066 per bulan , sementara 70% sisanya diberikan kepada mitra atau investor , senilai Rp66.287.821 per bulan .
Namun, angka-angka tersebut baru didapat setelah dipotong beberapa hal, salah satunya adalah donasi untuk Palestina sebesar 5% dari operating income , yang jika dihitung bernilai sekitar Rp4.984.047 per bulan .
Sorotan Publik: Prioritas Donasi vs Kesejahteraan Pekerja
Meskipun donasi untuk Palestina merupakan langkah mulia dan patut diapresiasi, banyak netizen yang mempertanyakan prioritas bisnis tersebut. Pasalnya, meski menyisihkan dana untuk amal, pemberdayaan dan kesejahteraan para karyawan tampaknya justru terabaikan.
Akun @berdessys menulis komentar sinis:
"Kirain mah udah suruh setoran hapalan dapat gaji layak."
Sementara itu, akun @basyiitth ikut menyuarakan kekecewaan publik:
"Jadi sebenarnya yang dijual ini ayam goreng tepung atau gimmick donasi? Kenapa lebih mentingin donasi daripada kesejahteraan karyawan? Bukannya donasi dilakukan itu seiklasnya?"
Ada juga komentar tajam dari akun @yaminkomplit:
"Melakukan yang sunnah, tapi memenuhi hak karyawan yang wajib malah abai."
Komentar-komentar tersebut menjadi cerminan kekecewaan masyarakat akan ketimpangan perlakuan antara pemilik usaha dan tenaga kerja. Di tengah kondisi ekonomi yang semakin sulit, upah layak bagi pekerja sering kali menjadi isu sentral yang tak kunjung terselesaikan.
Bisnis Ayam Goreng Berbalut Konsep Filantropi?
Bisnis ayam goreng ini disebut-sebut sebagai model bisnis berbasis syariah dengan konsep bagi hasil antara pengelola dan investor. Selain itu, ada juga komitmen untuk memberikan donasi rutin tiap bulan, termasuk untuk Palestina.
Namun, apakah filantropi bisa menjadi alasan untuk mengabaikan hak dasar para pekerja? Pertanyaan ini menjadi sorotan utama dari banyak kalangan, terutama mereka yang peduli dengan isu ketenagakerjaan dan ketidakadilan ekonomi.
Tidak sedikit yang merasa bahwa bisnis ini lebih fokus pada pencitraan sosial dan religius, tanpa melupakan keuntungan finansial besar-besaran, namun lalai dalam memenuhi tanggung jawab pokoknya sebagai pemberi kerja.
Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Masih Lemah?
Kejadian seperti ini juga membuka kembali diskusi tentang seberapa efektif upah minimum bekerja melindungi hak-hak pekerja. Terlebih lagi, jika ada bisnis yang beroperasi di bawah standar UMK, maka regulasi pemerintah harus lebih diperketat agar praktik-praktik seperti ini tidak terus terjadi.
Selain itu, transparansi bisnis juga menjadi penting, terutama jika bisnis tersebut menawarkan sistem investasi atau mitra bisnis. Masyarakat harus bisa membedakan antara bisnis yang benar-benar profesional dan bisnis yang hanya bermain di ranah emosional dan simbolisme agama.
Baca juga: 20 Cara Efektif Menghilangkan Bau Prengus Daging Kambing, Jaminan Anti Bau dan Lezat!