MoU Kejagung dengan Provider Telko: Bisa Sadap Komunikasi, Netizen Resah Soal Privasi

MoU Kejagung dengan Provider Telko: Bisa Sadap Komunikasi, Netizen Resah Soal Privasi

hp-pixabay-

MoU Kejagung dengan Provider Telko: Bisa Sadap Komunikasi, Netizen Resah Soal Privasi

Baru-baru ini, penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia dengan sejumlah operator telekomunikasi seperti Telkomsel, Indosat, XL Axiata, dan Smartfren menjadi sorotan publik. Kesepakatan tersebut kabarnya memberikan akses kepada lembaga penegak hukum untuk menyadap komunikasi pengguna seluler demi kepentingan penyelidikan dan penegakan hukum. Hal ini memicu pro dan kontra di masyarakat, terutama soal potensi pelanggaran hak privasi.



Dalam keterangan resmi, Jaksa Agung Muda Intelijen, Reda Manthovani, menjelaskan bahwa MoU tersebut bertujuan untuk mempermudh proses penyelidikan serta meningkatkan efektivitas dalam mendapatkan informasi yang valid dan akurat. Ia menyebut informasi yang diperoleh melalui kerja sama ini disebut sebagai "Info A1", sebuah istilah yang langsung mencuri perhatian publik.

Apa Itu Info A1?
Istilah “Info A1” bukanlah hal baru, namun lebih sering digunakan dalam lingkaran intelijen, militer, dan kepolisian. Menurut penjelasan dari akun Instagram @sarjanahukum47, Info A1 merujuk pada klasifikasi tertinggi dalam sistem intelijen untuk informasi yang dinilai paling dapat dipercaya, akurat, dan telah melewati tahap verifikasi ketat.

Sumber informasi jenis ini biasanya berasal dari pihak yang memiliki reputasi tinggi, tidak memiliki motif tersembunyi, serta didukung oleh bukti konkret. Dengan demikian, informasi ini sangat bernilai dalam proses pengambilan keputusan strategis maupun operasional.



Asal Usul Istilah A1
Merujuk pada jurnal ilmiah The Admiralty Code: A Cognitive Tool for Self-Directed Learning yang ditulis oleh James M. Hanson dari University of New South Wales, istilah "A1" berasal dari kode klasifikasi intelijen yang digunakan oleh Angkatan Laut Inggris. Kode ini digunakan untuk mengevaluasi keabsahan data berdasarkan rekam jejak sumber dan kualitas bukti pendukung.

Seiring perkembangan zaman, penggunaan kode ini pun meluas ke berbagai negara dan institusi, termasuk aparat kepolisian, badan intelijen, hingga militer Amerika Serikat. Di Indonesia, istilah ini mulai populer setelah digunakan secara resmi dalam konteks penegakan hukum oleh Kejagung.

Tujuan Kerja Sama Penyadapan
Jaksa Agung Muda Intelijen, Reda Manthovani, mengatakan bahwa MoU ini merupakan langkah strategis dalam rangka memperkuat kapabilitas Kejagung dalam menghadapi kasus-kasus hukum yang semakin kompleks. Melalui kerja sama ini, Kejagung akan dapat memasang dan mengoperasikan perangkat penyadapan serta mendapatkan rekaman informasi telekomunikasi secara langsung dari provider.

Menurutnya, kebutuhan akan informasi yang cepat, tepat, dan akurat menjadi alasan utama mengapa kerja sama ini harus segera direalisasikan. Informasi dari operator seluler dianggap vital dalam penyelidikan tindak pidana seperti korupsi, terorisme, narkoba, hingga kejahatan siber.

“Kami butuh akses langsung untuk bisa merespons kasus dengan cepat. Tanpa informasi yang valid, proses hukum bisa terhambat,” ujar Reda saat memberikan keterangan pers beberapa waktu lalu.

Pro Kontra di Tengah Masyarakat
Meski dianggap penting bagi upaya penegakan hukum, kebijakan ini mendapat banyak respons negatif dari masyarakat. Sejumlah netizen khawatir jika akses penyadapan semacam ini bisa disalahgunakan dan membahayakan hak privasi warga negara.

Di media sosial, khususnya Instagram dan Twitter, berbagai komentar kritis bermunculan. Salah satunya datang dari pemilik akun Instagram @jmtcom yang menyampaikan kritik pedas terhadap pemerintah:

"Indonesia non privasi, mulai dari data bocor, dijual pula, belum lagi berbagai marketing asuransi gak jelas nelpon terus, sampai hp rekening di-hack, kini bonus disadap."

Tidak hanya itu, banyak netizen yang mengaitkan isu ini dengan rentetan kasus kebocoran data pribadi yang sempat heboh, seperti bocornya data BPJS Kesehatan dan KPU. Kasus-kasus tersebut membuat rasa kepercayaan masyarakat terhadap sistem perlindungan data di Indonesia semakin rendah.

Baca juga: Sandiaga Uno Punya Anak Berapa? Viral Usulkan Anak Tak Ambil Beasiswa LPDP, Ini Alasannya

TAG:
Sumber:


Berita Lainnya