Kasus Hantavirus di Indonesia Meningkat, Seruan Nasional untuk Perang Total Lawan Tikus

Kasus Hantavirus di Indonesia Meningkat, Seruan Nasional untuk Perang Total Lawan Tikus

tikus-pixabay-

Kasus Hantavirus di Indonesia Meningkat, Seruan Nasional untuk Perang Total Lawan Tikus

Indonesia tengah menghadapi ancaman kesehatan masyarakat yang semakin nyata dengan meningkatnya kasus infeksi hantavirus. Virus yang berasal dari tikus ini telah terdeteksi di beberapa wilayah dan memicu kekhawatiran serius, baik dari kalangan pemerintah maupun masyarakat umum.



Hingga pertengahan tahun 2025, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencatat setidaknya ada delapan kasus Hantavirus Hemorrhagic Fever with Renal Syndrome (HFRS) yang tersebar di empat provinsi: Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara. Temuan ini turut mendapat sorotan dari media internasional seperti South China Morning Post (SCMP), yang menilai risiko penyebaran virus ini sangat signifikan mengingat kondisi lingkungan dan sanitasi sebagian besar wilayah di Indonesia.

Apa Itu Hantavirus?
Hantavirus adalah kelompok virus RNA yang ditularkan oleh hewan pengerat, khususnya tikus. Dua bentuk utama penyakit yang disebabkan oleh virus ini adalah Hemorrhagic Fever with Renal Syndrome (HFRS) dan Hantavirus Pulmonary Syndrome (HPS). Meskipun tidak menular antar manusia, virus ini bisa menyebar melalui kontak langsung dengan urine, air liur, atau kotoran tikus yang terinfeksi. Bahkan, partikel virus yang terhirup dari udara—yang terkontaminasi oleh debu dari kotoran tikus—juga berpotensi menyebarkan penyakit.

Gejala awal infeksi mirip flu, seperti demam tinggi, sakit kepala, nyeri otot, mual, dan gangguan pencernaan. Namun, pada kasus yang lebih parah, virus dapat menyerang ginjal dan menyebabkan komplikasi yang fatal jika tidak segera ditangani.



Faktor Lingkungan Memperparah Risiko Penyebaran
Salah satu faktor utama yang membuat Indonesia rentan terhadap penyebaran hantavirus adalah buruknya sanitasi dan tumpukan sampah di banyak daerah perkotaan dan pedesaan. Tingginya populasi tikus serta kondisi lingkungan yang padat penduduk menjadi kombinasi sempurna bagi virus untuk menyebar lebih cepat.

Sebuah studi yang dipublikasikan pada 2024 di PubMed menunjukkan bahwa sekitar 30% populasi tikus jenis Rattus norvegicus di Bogor membawa Seoul hantavirus. Lebih mengejutkan lagi, 12,5% dari tikus-tikus tersebut juga ditemukan positif terinfeksi Leptospira , bakteri penyebab leptospirosis. Ini menegaskan adanya ancaman ganda dari penyakit zoonosis yang bersumber dari hewan ke manusia.

Penelitian serupa sebelumnya juga pernah dilakukan di Jakarta dan Bandung, yang juga menemukan keberadaan Seoul virus pada tikus domestik. Fakta-fakta ini menjadi alarm bagi pemerintah dan masyarakat untuk segera melakukan langkah-langkah preventif secara menyeluruh.

Pakar Sebut Pengendalian Tikus Harus Menyeluruh
Dr. Wiranto, pakar zoonosis dari Universitas Indonesia, menegaskan bahwa pengendalian populasi tikus tidak bisa hanya bergantung pada racun atau perangkap semata. Menurutnya, solusi efektif harus datang dari pendekatan holistik yang melibatkan masyarakat, pemerintah, dan stakeholder terkait.

“Pengendalian tikus harus menjadi gerakan nasional. Selain menggunakan metode konvensional, kita juga harus memperbaiki sistem sanitasi, manajemen sampah, serta edukasi masyarakat,” ujar Dr. Wiranto dalam wawancara eksklusif yang dikutip dari SCMP, Senin (30/6/2025).

Ia juga menyarankan pemanfaatan predator alami sebagai bagian dari strategi jangka panjang. Salah satunya adalah burung hantu (Tyto alba ), yang memiliki kemampuan berburu hingga 3–5 ekor tikus per malam. Pendekatan ini merupakan bagian dari prinsip One Health, yaitu integrasi antara kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan.

Langkah Pencegahan dari Kementerian Kesehatan
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes RI menyatakan perlunya peningkatan surveilans aktif untuk mendeteksi kasus hantavirus lebih dini. Selain itu, kampanye edukasi tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan rumah dan area publik pun digencarkan.

Beberapa langkah pencegahan yang direkomendasikan Kemenkes antara lain:

Menyimpan makanan dan air minum dalam wadah tertutup.
Membersihkan sisa makanan dan sampah harian secara rutin.
Menutup celah atau lubang di rumah yang bisa menjadi akses masuk tikus.
Menggunakan perangkap tikus secara berkala.
Merawat kebersihan halaman dan saluran air agar tidak menjadi tempat berkembang biak tikus.
Selain itu, masyarakat diminta menggunakan masker saat membersihkan area yang diduga terkena kontaminasi kotoran tikus. Jika mengalami gejala seperti demam tinggi, nyeri perut, atau gangguan fungsi ginjal, segera kunjungi fasilitas kesehatan terdekat.

Momentum untuk Perbaikan Sistem Sanitasi Nasional
Kasus hantavirus yang mulai bermunculan di Indonesia menjadi pengingat penting akan pentingnya menjaga ekosistem sanitasi yang baik. Di tengah tantangan urbanisasi dan peningkatan jumlah penduduk, masalah kebersihan lingkungan kerap kali terabaikan.

Namun, situasi ini bisa menjadi momentum untuk melakukan reformasi besar-besaran dalam pengelolaan sampah, drainase, serta edukasi kesehatan masyarakat. Kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah, lembaga akademik, serta partisipasi aktif masyarakat menjadi kunci utama dalam mencegah ledakan kasus yang lebih luas.

Baca juga: MoU Kejagung dengan Provider Telko: Bisa Sadap Komunikasi, Netizen Resah Soal Privasi

TAG:
Sumber:


Berita Lainnya