KABAR DUKA! Pratama Wijaya Kusuma Mahasiswa Unila yang Meninggal Dunia Diduga dapat Penyiksaan Saat Diklat MAHEPEL

ilustrasi-pixabay-
KABAR DUKA! Pratama Wijaya Kusuma Mahasiswa Unila Diduga dapay Penyiksaan Saat Diklat MAHEPEL
Duka mendalam menyelimuti kampus Universitas Lampung (Unila) setelah berpulangnya Pratama Wijaya Kusuma, mahasiswa Program Studi Bisnis Digital Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) angkatan 2024. Tragedi ini terjadi saat korban sedang mengikuti kegiatan diklat organisasi mahasiswa pecinta alam MAHEPEL.
Kabar meninggalnya Pratama pertama kali menyebar luas melalui unggahan di media sosial, khususnya sebuah thread viral di Twitter yang ditulis oleh akun @jekkwalterz. Unggahan tersebut memicu kemarahan publik dan menjadi sorotan nasional karena dugaan kuat adanya tindakan penyiksaan fisik yang dialami para peserta selama rangkaian pelatihan tersebut.
Kronologi Kematian Pratama Wijaya Kusuma
Menurut narasi dalam thread tersebut, Pratama diduga mengalami benturan keras di kepala hingga menyebabkan pembekuan darah di otak. Meski sempat menjalani operasi medis, nyawa korban tak dapat diselamatkan. Pihak keluarga dan teman-temannya pun diliputi kesedihan luar biasa atas kehilangan seorang anak muda yang masih memiliki banyak cita-cita.
Lebih lanjut, penulis thread juga mengungkapkan bahwa dugaan tindakan kekerasan bukanlah hal baru dalam lingkungan organisasi MAHEPEL. Sebelum tragedi ini terjadi, dua mahasiswa FEB Unila lainnya juga disebut pernah menjadi korban kekerasan fisik dalam kegiatan serupa. Salah satunya adalah Faaris, rekan dari penulis thread, yang mengalami cedera gendang telinga akibat pemukulan.
“Sayangnya, pihak dekanat dan staf FEB Unila seperti diam seribu bahasa. Tidak ada langkah konkret untuk menyelesaikan masalah ini,” tulis akun tersebut.
Modus Operandi: Kekejaman Sistematis?
Dalam narasi yang beredar, proses diklat MAHEPEL diduga dirancang secara sistematis untuk memberikan tekanan fisik dan mental kepada peserta. Termasuk larangan membawa alat elektronik dan jam tangan agar tidak ada bukti rekaman yang bisa digunakan sebagai bahan investigasi.
Selain itu, peserta juga dipaksa untuk tidak menunjukkan rasa sakit atau kelelahan. Jika melanggar aturan tersebut, mereka akan dikenai hukuman tambahan yang lebih keras, seperti pemukulan, penamparan, penendangan, hingga diinjak.
Modus ini tentu sangat mencemaskan, apalagi jika dilakukan terhadap mahasiswa baru yang belum sepenuhnya memahami risiko bergabung dalam suatu organisasi ekstrakurikuler.
Gelombang Protes dan Tagar #JusticeForPratama Menggema
Tidak butuh waktu lama bagi publik untuk bereaksi. Pasca-kematian Pratama, tagar #JusticeForPratama langsung membanjiri linimasa media sosial, khususnya Twitter. Banyak netizen, alumni, hingga aktivis mahasiswa turut menyampaikan keprihatinan sekaligus menuntut keadilan bagi korban.
Beberapa pengguna media sosial juga mengingatkan bahwa kasus serupa pernah terjadi pada tahun 2019 silam, ketika seorang mahasiswa korban kekerasan dalam UKMF pecinta alam mendapat respon cepat dari pihak universitas. Organisasi pelaku dibekukan, dan panitia acara diproses secara hukum.
“Kenapa sekarang kasusnya malah lambat sekali? Harus ada demo dulu baru ada respons?” tulis salah satu warganet dengan akun @apalagiyach.